Jakarta: Hakim dinilai tak akan mempertimbangkan tuntutan hukuman mati di kasus korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI). Mengingat, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap terdakwa kasus ASABRI Heru Hidayat tak sesuai dengan dakwaan.
Pasal 2 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menuntut Heru tak ada di dakwaan. "Saya masih yakin majelis hakim akan memutuskan secara arif dan bijaksana," kata pakar hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, melalui keterangan tertulis, Minggu, 12 Desember 2021.
Menurut dia, hakim bakal mengadakan musyawarah terakhir untuk memutus kasus itu. Musyawarah diamanatkan dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP. Dalam aturan itu, keputusan hakim harus berdasarkan surat dakwaan dan pembuktian di persidangan.
"Jika melihat syarat musyawarah hakim dalam Pasal 182 KUHAP harus didasarkan pada dakwaan dan pembuktian saja. Sebagaimana kita tahu, tuntutan hukuman mati tidak ada dalam dakwaan jaksa bukan?" ujar Akbar.
Di sisi lain, dia mengkritik tuntutan hukuman mati di kasus itu. Sebab, seyogyanya Heru tak perlu membayar uang pengganti jika tuntutan hukuman mati dikabulkan.
Baca: Tuntutan Hukuman Mati Disebut Tak Murni Pertimbangan Hukum
Akbar menyebut hal itu tak efektif mengembalikan kerugian negara. Padahal, hal tersebut menjadi fokus utama pengusutan kasus korupsi.
"Pada dasarnya kalau fokus utama jaksa adalah aset recovery, maka seharusnya tidak memilih tuntutan pidana mati," kata Akbar.
Selain menuntut hukuman mati, JPU meminta Heru membayar pengganti Rp12.643.400.946.226,00 dalam waktu satu bulan. Jika tak dibayar maka jaksa akan menyita dan melelang harta milik Heru.
Jakarta: Hakim dinilai tak akan mempertimbangkan tuntutan
hukuman mati di kasus korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI). Mengingat, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap terdakwa kasus ASABRI Heru Hidayat tak sesuai dengan dakwaan.
Pasal 2 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menuntut Heru tak ada di dakwaan. "Saya masih yakin majelis hakim akan memutuskan secara arif dan bijaksana," kata pakar hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, melalui keterangan tertulis, Minggu, 12 Desember 2021.
Menurut dia, hakim bakal mengadakan musyawarah terakhir untuk memutus kasus itu. Musyawarah diamanatkan dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP. Dalam aturan itu, keputusan hakim harus berdasarkan surat dakwaan dan pembuktian di persidangan.
"Jika melihat syarat musyawarah hakim dalam Pasal 182 KUHAP harus didasarkan pada dakwaan dan pembuktian saja. Sebagaimana kita tahu, tuntutan hukuman mati tidak ada dalam dakwaan jaksa bukan?" ujar Akbar.
Di sisi lain, dia mengkritik tuntutan
hukuman mati di kasus itu. Sebab, seyogyanya Heru tak perlu membayar uang pengganti jika tuntutan hukuman mati dikabulkan.
Baca:
Tuntutan Hukuman Mati Disebut Tak Murni Pertimbangan Hukum
Akbar menyebut hal itu tak efektif mengembalikan kerugian negara. Padahal, hal tersebut menjadi fokus utama pengusutan kasus korupsi.
"Pada dasarnya kalau fokus utama jaksa adalah aset recovery, maka seharusnya tidak memilih tuntutan pidana mati," kata Akbar.
Selain menuntut hukuman mati, JPU meminta Heru membayar pengganti Rp12.643.400.946.226,00 dalam waktu satu bulan. Jika tak dibayar maka jaksa akan menyita dan melelang harta milik Heru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)