Jakarta: Tuntutan hukuman mati terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) Heru Hidayat, dinilai bermuatan politik. Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan mengatakan tuntutan itu tak selalu murni berdasarkan pertimbangan hukum.
“Saya membaca selalu ada politik di balik penuntutan hukuman mati, jadi tidak murni selalu atas dasar pertimbangan hukum,” ujar Halili saat dikonfirmasi, Minggu, 12 Desember 2021.
Menurut dia, tuntutan itu dibuat untuk mendapatkan sentimen positif dari publik. Sebab, kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung mulai menurun, dibuktikan dengan survei Saiful Mujani Research and Consultan (SMRC) yang dirilis pada Agustus 2021.
“Seperti ada motif untuk meraih sentimen positif publik," kata dia.
Survei tersebut membeberkan 26 persen dari 1.000 responden menilai jaksa bersih dari praktik suap. Sementara itu, 59 persen peserta jajak pendapat menilai jaksa di Indonesia tidak bersih dari praktik suap.
Di sisi lain, Halili menegaskan pihaknya tak sepakat dengan hukuman mati dalam kasus apa pun, termasuk korupsi. Sebab, hukuman maksimal itu tak terbukti menurunkan indeks korupsi di Indonesia.
Baca: Jaksa Agung Perintahkan Jajarannya Fokus TPPU Seperti di Jiwasraya dan ASABRI
“Pemiskinan merupakan hukuman yang tepat. Koruptor itu tidak takut mati, mereka takut miskin, makanya para pelaku itu melakukan korupsi,” ungkap dia.
Senada, Amnesty Internasional menolak tuntutan hukuman mati. Sebab, jenis pidana itu bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Menurut Usman, lebih baik memperbaiki penegakan hukum sehingga memberikan kepastian hukum.
"Jadi seharusnya dilakukan adalah membenahi sistem hukum yang masih melanggengkan impunitas, bukan semakin menambah tingkat kekejaman hukuman," tegas Usman.
Di sisi lain, dia mengapresiasi draf revisi KUHP yang mengurangi penggunaan hukuman mati. Selain itu, pasal yang menetapkan hukuman mati sebagai alternatif, masih memberikan diskresi kepada hakim.
"Pasal 100 menyebut Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Kalau bergantung dengan keputusan hakim maka tidak bisa dipastikan akan terjadi pengurangan penggunaan hukuman mati," ucap Usman.
Dia juga membeberkan tren penggunaan hukuman mati di dunia telah berkurang. Catatan Amnesty International, 108 negara telah menghapus hukuman mati dari undang-undang mereka. Selain itu, 144 negara telah menghapus hukuman mati dalam praktik hukum mereka.
"Indonesia seharusnya melihat tren global ini dan ikut menyadari bahwa hukuman mati adalah hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia," ungkap Usman.
Jakarta: Tuntutan
hukuman mati terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI) Heru Hidayat, dinilai bermuatan politik. Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan mengatakan tuntutan itu tak selalu murni berdasarkan pertimbangan hukum.
“Saya membaca selalu ada politik di balik penuntutan hukuman mati, jadi tidak murni selalu atas dasar pertimbangan hukum,” ujar Halili saat dikonfirmasi, Minggu, 12 Desember 2021.
Menurut dia, tuntutan itu dibuat untuk mendapatkan sentimen positif dari publik. Sebab, kepercayaan publik terhadap
Kejaksaan Agung mulai menurun, dibuktikan dengan survei Saiful Mujani Research and Consultan (SMRC) yang dirilis pada Agustus 2021.
“Seperti ada motif untuk meraih sentimen positif publik," kata dia.
Survei tersebut membeberkan 26 persen dari 1.000 responden menilai jaksa bersih dari praktik suap. Sementara itu, 59 persen peserta jajak pendapat menilai jaksa di Indonesia tidak bersih dari
praktik suap.
Di sisi lain, Halili menegaskan pihaknya tak sepakat dengan hukuman mati dalam kasus apa pun, termasuk korupsi. Sebab, hukuman maksimal itu tak terbukti menurunkan indeks korupsi di Indonesia.
Baca:
Jaksa Agung Perintahkan Jajarannya Fokus TPPU Seperti di Jiwasraya dan ASABRI
“Pemiskinan merupakan hukuman yang tepat. Koruptor itu tidak takut mati, mereka takut miskin, makanya para pelaku itu melakukan korupsi,” ungkap dia.
Senada, Amnesty Internasional menolak tuntutan hukuman mati. Sebab, jenis pidana itu bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Menurut Usman, lebih baik memperbaiki penegakan hukum sehingga memberikan kepastian hukum.
"Jadi seharusnya dilakukan adalah membenahi sistem hukum yang masih melanggengkan impunitas, bukan semakin menambah tingkat kekejaman hukuman," tegas Usman.
Di sisi lain, dia mengapresiasi draf revisi KUHP yang mengurangi penggunaan hukuman mati. Selain itu, pasal yang menetapkan hukuman mati sebagai alternatif, masih memberikan diskresi kepada hakim.
"Pasal 100 menyebut Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Kalau bergantung dengan keputusan hakim maka tidak bisa dipastikan akan terjadi pengurangan penggunaan hukuman mati," ucap Usman.
Dia juga membeberkan tren penggunaan hukuman mati di dunia telah berkurang. Catatan Amnesty International, 108 negara telah menghapus hukuman mati dari undang-undang mereka. Selain itu, 144 negara telah menghapus hukuman mati dalam praktik hukum mereka.
"Indonesia seharusnya melihat tren global ini dan ikut menyadari bahwa hukuman mati adalah hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia," ungkap Usman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)