Jakarta: Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Ari Setiawan, menepis pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan mandat kepada Presiden Joko Widodo. Istilah penyerahan mandat tidak ada dalam bahasa hukum.
"Sepanjang sepengetahuan ahli mengenai hal itu harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum administrasi," kata Ari dalam sidang praperadilan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Pasar Minggu, Kamis, 7 November 2019.
Menurut dia, pengangkatan dan pemberhetian pimpinan KPK berdasarkan keputusan presiden (keppres). Keinginan seorang pejabat untuk mengundurkan diri atau menyerahkan jabatan pun hanya bisa berlaku ketika ada keppres.
"Kalau ada seperti itu, harus menunggu jawaban keputusan dari Presiden (Joko Widodo). Kalau keputusan Presiden belum turun, dianggap kewenangan masih melekat pada pejabat tersebut," jelas dia.
Penyerahan mandat menjadi polemik di praperadilan Imam. Kuasa hukum Imam berpendapat penetapan tersangka di kasus suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) kepada kliennya cacat administrasi.
Ketua KPK Agus Rahardjo disebut menyerahkan mandat jabatannya kepada Presiden, Jumat, 13 September 2019. Untuk itu, kuasa hukum menganggap penetapan tersangka terhadap Imam pada Rabu, 18 September 2019, dianggap tak sah.
Imam dijerat Lembaga Antirasuah bersama asisten pribadinya (aspri) Miftahul Ulum. Imam diduga menerima suap dan gratifikasi Rp26,5 miliar melalui anak buahnya itu.
Uang ini komitmen fee atas pengurusan proposal hibah KONI kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada 2018. Imam menerima suap dan gratifikasi sebagai ketua Dewan Pengarah Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) dan menpora.
Penetapan tersangka Imam hasil pengembangan dari perkara lima tersangka: Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy, Deputi IV Kemenpora Mulyana, pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemenpora Adhi Pumamo, dan staf Kemenpora Eko Tryanto. Kelimanya telah divonis bersalah di pengadilan tingkat pertama.
Imam dan Miftahul dijerat Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Ari Setiawan, menepis pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan mandat kepada Presiden Joko Widodo. Istilah penyerahan mandat tidak ada dalam bahasa hukum.
"Sepanjang sepengetahuan ahli mengenai hal itu harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum administrasi," kata Ari dalam sidang praperadilan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Pasar Minggu, Kamis, 7 November 2019.
Menurut dia, pengangkatan dan pemberhetian pimpinan KPK berdasarkan keputusan presiden (keppres). Keinginan seorang pejabat untuk mengundurkan diri atau menyerahkan jabatan pun hanya bisa berlaku ketika ada keppres.
"Kalau ada seperti itu, harus menunggu jawaban keputusan dari Presiden (Joko Widodo). Kalau keputusan Presiden belum turun, dianggap kewenangan masih melekat pada pejabat tersebut," jelas dia.
Penyerahan mandat menjadi polemik di praperadilan Imam. Kuasa hukum Imam berpendapat penetapan tersangka di kasus suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) kepada kliennya cacat administrasi.
Ketua KPK Agus Rahardjo disebut menyerahkan mandat jabatannya kepada Presiden, Jumat, 13 September 2019. Untuk itu, kuasa hukum menganggap penetapan tersangka terhadap Imam pada Rabu, 18 September 2019, dianggap tak sah.
Imam dijerat Lembaga Antirasuah bersama asisten pribadinya (aspri) Miftahul Ulum. Imam diduga menerima suap dan gratifikasi Rp26,5 miliar melalui anak buahnya itu.
Uang ini komitmen
fee atas pengurusan proposal hibah KONI kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada 2018. Imam menerima suap dan gratifikasi sebagai ketua Dewan Pengarah Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) dan menpora.
Penetapan tersangka Imam hasil pengembangan dari perkara lima tersangka: Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy, Deputi IV Kemenpora Mulyana, pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemenpora Adhi Pumamo, dan staf Kemenpora Eko Tryanto. Kelimanya telah divonis bersalah di pengadilan tingkat pertama.
Imam dan Miftahul dijerat Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1
juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)