Jakarta: Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib menilai pemerintah perlu meningkatkan keamanan pada awal 2021. Sebab, terdapat sejumlah peristiwa keamanan yang menunjukkan kekecewaan sebagian kelompok pada pemerintah di penghujung 2020.
"Pembicaraan di bawah itu ada semacam distrust yang sangat tinggi kepada pemerintah. Arahnya kepada ketidakpercayaan publik kepada pemerintah," kata Ridlwan dalam diskusi virtual bertajuk Outlook Indonesia 2021: Politik, Hukum, dan Keamanan, Kamis, 31 Desember 2020.
Pengamatan Ridlwan didasari dari teori Lloyd. Teori itu menyebut ancaman sama dengan perkalian antara niat jahat, dikalikan kapabilitas, dikalikan dengan circumstances (keadaan), kemudian dikalikan dengan vulnerabilities (kelemahan).
Niat jahat dinilai telah tergambar dengan sejumlah peristiwa nasional yang memantik ketegangan di publik di penghujung 2020. Misalnya, penangkapan 23 terduga teroris kelompok Jemaah Islamiyah (JI) dan kasus yang berkaitan dengan Front Pembela Islam (FPI).
(Baca: Pergerakan Eks Anggota FPI Juga Harus Diwaspadai)
Sementara itu, sisi kapabilitas, kelompok teroris membuat pemerintah terkaget-kaget dengan temuan aksi mereka. Kelompok radikal punya berbagai rencana teror hingga berlatih untuk menyerang pihak Very-Very Important Person (VVIP).
"Mereka punya bungker juga ternyata di Lampung yang isinya senjata dan bahan peledak. Jadi saya kira dari sikap capability mereka punya, skornya tinggi," ujar Ridlwan.
Circumstances menempatkan pada situasi masih adanya polarisasi di masyarakat. Meski, sejumlah tokoh yang kontra pemerintah sudah merapat dalam koalisi.
"Meskipun Sandiaga sudah menjadi menteri, Prabowo jadi Menteri Pertahanan itu sama sekali tidak memengaruhi tingkat keakuran atau keharmonisan publik termasuk di media sosial dan WhatsApp grup," tutur dia.
Kemudian, unsur vulnerabilities terjadi di komunikasi pemerintah. Khususnya, komunikasi kepada publik dalam menanggapi isu yang menguap di masyarakat.
"Bahkan kadang-kadang saling menegasikan, dari sisi juru bicara pemerintah kita belum mendapatkan informasi yang clear sehingga publik justru bingung," ucap dia.
Jakarta: Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib menilai pemerintah perlu meningkatkan keamanan pada awal 2021. Sebab, terdapat sejumlah peristiwa keamanan yang menunjukkan kekecewaan sebagian kelompok pada pemerintah di penghujung 2020.
"Pembicaraan di bawah itu ada semacam
distrust yang sangat tinggi kepada pemerintah. Arahnya kepada ketidakpercayaan publik kepada pemerintah," kata Ridlwan dalam diskusi virtual bertajuk Outlook Indonesia 2021: Politik, Hukum, dan Keamanan, Kamis, 31 Desember 2020.
Pengamatan Ridlwan didasari dari teori Lloyd. Teori itu menyebut ancaman sama dengan perkalian antara niat jahat, dikalikan kapabilitas, dikalikan dengan
circumstances (keadaan), kemudian dikalikan dengan
vulnerabilities (kelemahan).
Niat jahat dinilai telah tergambar dengan sejumlah peristiwa nasional yang memantik ketegangan di publik di penghujung 2020. Misalnya, penangkapan 23 terduga
teroris kelompok Jemaah Islamiyah (JI) dan kasus yang berkaitan dengan Front Pembela Islam (
FPI).
(Baca:
Pergerakan Eks Anggota FPI Juga Harus Diwaspadai)
Sementara itu, sisi kapabilitas, kelompok teroris membuat pemerintah terkaget-kaget dengan temuan aksi mereka. Kelompok radikal punya berbagai rencana teror hingga berlatih untuk menyerang pihak
Very-Very Important Person (VVIP).
"Mereka punya bungker juga ternyata di Lampung yang isinya senjata dan bahan peledak. Jadi saya kira dari sikap
capability mereka punya, skornya tinggi," ujar Ridlwan.
Circumstances menempatkan pada situasi masih adanya polarisasi di masyarakat. Meski, sejumlah tokoh yang kontra pemerintah sudah merapat dalam koalisi.
"Meskipun Sandiaga sudah menjadi menteri, Prabowo jadi Menteri Pertahanan itu sama sekali tidak memengaruhi tingkat keakuran atau keharmonisan publik termasuk di media sosial dan WhatsApp grup," tutur dia.
Kemudian, unsur
vulnerabilities terjadi di komunikasi pemerintah. Khususnya, komunikasi kepada publik dalam menanggapi isu yang menguap di masyarakat.
"Bahkan kadang-kadang saling menegasikan, dari sisi juru bicara pemerintah kita belum mendapatkan informasi yang
clear sehingga publik justru bingung," ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)