Jakarta: Kuasa hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail tak setuju kliennya disebut paling berperan dalam proyek KTP elektronik (KTP-el). Maqdir menilai posisi Novanto saat itu tak memungkinkan melakukan hal tersebut.
"Dalam dakwaan, memang dinyatakan Pak Novanto melakukan intervensi terhadap penganggaran dan pengadaan. Hal ini tidak mungkin dilakukan seorang diri oleh seorang Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar," kata Maqdir kepada Medcom.id, Rabu, 25 April 2018.
Maqdir mengatakan, untuk mengintervensi proyek KTP-el dibutuhkan persetujuan pejabat yang lebih tinggi di atas Ketua Fraksi. Apalagi yang terkait soal penganggaran proyek bernilai Rp5,8 triliun tersebut.
"Biaya itu harus disetujui oleh semua fraksi di komisi kemudian disetujui Banggar. Setelah itu diputuskan lewat Paripurna. Sangat tidak tepat mengatakan Pak Novanto orang yang berperan paling besar dalam perkara KTP-el," kata Maqdir.
Majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman atau vonis 15 tahun penjara terhadap terdakwa korupsi KTP-el Setya Novanto. Mantan Ketua DPR RI itu juga dihukum membayar denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca: Putusan Novanto Dinilai tak Adil
Selain itu, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu juga dituntut membayar uang pengganti sebesar USD7,3 juta dikurangi uang yang telah dikembalikan Rp5 miliar subsider 2 tahun kurungan. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Novanto selama 5 tahun.
Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut Novanto 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Novanto juga dituntut membayar uang pengganti sebesar USD7,4 juta dikurangi uang yang telah dikembalikan Rp5 miliar subsider 3 tahun.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/dN6EOq0K" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Kuasa hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail tak setuju kliennya disebut paling berperan dalam proyek KTP elektronik (KTP-el). Maqdir menilai posisi Novanto saat itu tak memungkinkan melakukan hal tersebut.
"Dalam dakwaan, memang dinyatakan Pak Novanto melakukan intervensi terhadap penganggaran dan pengadaan. Hal ini tidak mungkin dilakukan seorang diri oleh seorang Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar," kata Maqdir kepada
Medcom.id, Rabu, 25 April 2018.
Maqdir mengatakan, untuk mengintervensi proyek KTP-el dibutuhkan persetujuan pejabat yang lebih tinggi di atas Ketua Fraksi. Apalagi yang terkait soal penganggaran proyek bernilai Rp5,8 triliun tersebut.
"Biaya itu harus disetujui oleh semua fraksi di komisi kemudian disetujui Banggar. Setelah itu diputuskan lewat Paripurna. Sangat tidak tepat mengatakan Pak Novanto orang yang berperan paling besar dalam perkara KTP-el," kata Maqdir.
Majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman atau vonis 15 tahun penjara terhadap terdakwa korupsi KTP-el Setya Novanto. Mantan Ketua DPR RI itu juga dihukum membayar denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca: Putusan Novanto Dinilai tak Adil
Selain itu, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu juga dituntut membayar uang pengganti sebesar USD7,3 juta dikurangi uang yang telah dikembalikan Rp5 miliar subsider 2 tahun kurungan. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Novanto selama 5 tahun.
Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut Novanto 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Novanto juga dituntut membayar uang pengganti sebesar USD7,4 juta dikurangi uang yang telah dikembalikan Rp5 miliar subsider 3 tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)