Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Soal Pasal 100 KUHP Baru, Pengamat: Pidana Mati Tak Efektif Cegah Korupsi

Fachri Audhia Hafiez • 17 Februari 2023 16:31
Jakarta: Pasal 100 yang mengatur hukuman mati pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dinilai tidak efektif diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Sebab, hukuman mati juga tak efektif untuk cegah korupsi terulang.
 
"Menurut saya yang menjadi soal tidak efektifnya penegakan hukum antikorupsi selama ini gitu ya, ada atau tidaknya pidana mati itu tidak berkorelasi dengan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia gitu," kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman saat dihubungi Medcom.id, Jumat, 17 Februari 2023.
 
Pasal Pasal 100 KUHP baru mengatur soal eksekusi mati. Upaya itu baru dapat dilakukan setelah terpidana yang divonis mati melalui masa percobaan 10 tahun.

Jika dalam 10 tahun terpidana berkelakuan baik dan menyesali perbuatannya, maka vonis mati dapat diganti hukuman penjara seumur hidup. Aturan ini pun baru berlaku pada 2026.
 
Zaenur mengatakan vonis kasus korupsi di Indonesia sejatinya belum pernah menyentuh level hukuman mati. Hanya saja, jaksa melalui tuntutannya yang pernah menuntut hukuman mati yakni, kepada terdakwa kasus PT ASABRI, Benny Tjokrosaputro (Bentjok).
 
"Tuntutan itu karena Bentjok dianggap pengulangan karena sebelumnya sudah melakukan korupsi di kasus Jiwasraya, padahal itu adalah perbarengan. Karena hanya belum disidangkan yang satunya, sementara yang satunya sudah divonis. Tuntutan jaksa penuntut umum itu tidak dikabulkan oleh majelis hakim," ujar Zaenur.
 

Baca: KPK Serahkan Aset Hasil Rampasan Senilai Rp57 Miliar kepada Pemerintah


Zaenur mengatakan instrumen untuk memberikan efek jera kepada pelaku korupsi yakni dengan pemiskinan. Sementara, sejauh ini pun hukuman bagi koruptor tidak didukung dengan aturan terkait dengan memaksimalkan pemulihan aset.
 
"Kita tidak punya RUU Perampasan Aset dan lain-lain dan juga problem penegak hukum kita yang masih abuse of power, itu lah yang menyebabkan kenapa penegakan hukum antikorupsi selama ini belum efektif," ucap Zaenur.
 
Di sisi lain, Zaenur mendukung masa tunggu 10 tahun bagi terpidana mati. Ia menilai hal itu memberikan kesempatan bagi terpidana untuk mengubah perilaku.
 
"Artinya di dalam KUHP yang baru ini ada kesempatan untuk melihat apakah terpidana yang dijatuhi pidana mati itu ada perubahan perilaku atau tidak, juga memberikan kesempatan untuk mematuhi peraturan-peraturan di lembaga pemasyarakatan agar bisa menjadi warga masyarakat yang baik," ujar Zaenur.
 
Ia juga menuturkan bahwa waktu 10 tahun untuk melakukan upaya hukum seperti peninjauan kembali (PK). Hal itu dilakukan apabila pada rentang waktu tersebut ditemukan novum atau bukti baru.
 
"Jadi masa 10 tahun untuk melakukan koreksi misalnya melakukan bisa mengajukan peninjauan kembali jika ada novum gitu ya. Sehingga meminimalisir terjadinya penjatuhan pelaksanaan eksekusi pidana mati di dalam perkara yang peradilannya itu sesat gitu ya," jelas Zaenur.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan