Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan tim penyidiknya tengah berupaya menjemput paksa Ketua DPR RI Setya Novanto. Tim penyidik saat ini tengah berada di kediaman Novanto di Jalan Wijaya 8 Nomor 19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
"Tim KPK masih berada di lapangan dalam konteks pelaksanaan tugas penindakan KPK," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Kamis 16 November 2017.
Menurur Febri, penjemputan paksa dilakukan karena Novanto tidak bersikap kooperatif. Novanto sudah empat kali menolak memenuhi panggilan penyidik.
"KPK mendatangi rumah SN karena sejumlah panggilan sudah dilakukan sebelumnya namun yang bersangkutan tidak menghadiri," ujar dia.
Lembaga Antikorupsi meminta Novanto segera menyerahkan diri ke penyidik untuk digelandang ke markas Komisi Antirasuah. "Secara persuasif kami imbau SN dapat menyerahkan diri," pungkas Febri.
Novanto tercatat sudah empat kali menolak memenuhi panggilan penyidik untuk diperiksa kasus korupsi KTP-el. Tiga kali absen sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo dan satu kali sebagai tersangka setelah resmi kembali menjadi pesakitan kasus korupsi KTP-el.
KPK sebelumnya kembali menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi KTP-el. Novanto diduga telah menguntungkan diri sendiri dan korporasi dari megaproyek tersebut.
Baca: Penyidik KPK Belum Bertemu Novanto
Novanto bersama dengan Anang Sugiana Sudiharjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong dan dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto diduga kuat telah merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun dari proyek KTP-el tersebut.
Tak hanya itu, Novanto dan Andi Narogong juga diduga mengatur proyek sejak proses penganggaran, hingga pengadaan e-KTP tersebut. Novanto dan Andi Narogong disebut telah menerima keuntungan dalam proyek e-KTP ini sebesar Rp574,2 miliar.
Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/ybJM9GWN" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan tim penyidiknya tengah berupaya menjemput paksa Ketua DPR RI Setya Novanto. Tim penyidik saat ini tengah berada di kediaman Novanto di Jalan Wijaya 8 Nomor 19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
"Tim KPK masih berada di lapangan dalam konteks pelaksanaan tugas penindakan KPK," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Kamis 16 November 2017.
Menurur Febri, penjemputan paksa dilakukan karena Novanto tidak bersikap kooperatif. Novanto sudah empat kali menolak memenuhi panggilan penyidik.
"KPK mendatangi rumah SN karena sejumlah panggilan sudah dilakukan sebelumnya namun yang bersangkutan tidak menghadiri," ujar dia.
Lembaga Antikorupsi meminta Novanto segera menyerahkan diri ke penyidik untuk digelandang ke markas Komisi Antirasuah. "Secara persuasif kami imbau SN dapat menyerahkan diri," pungkas Febri.
Novanto tercatat sudah empat kali menolak memenuhi panggilan penyidik untuk diperiksa kasus korupsi KTP-el. Tiga kali absen sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo dan satu kali sebagai tersangka setelah resmi kembali menjadi pesakitan kasus korupsi KTP-el.
KPK sebelumnya kembali menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi KTP-el. Novanto diduga telah menguntungkan diri sendiri dan korporasi dari megaproyek tersebut.
Baca: Penyidik KPK Belum Bertemu Novanto
Novanto bersama dengan Anang Sugiana Sudiharjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong dan dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto diduga kuat telah merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun dari proyek KTP-el tersebut.
Tak hanya itu, Novanto dan Andi Narogong juga diduga mengatur proyek sejak proses penganggaran, hingga pengadaan e-KTP tersebut. Novanto dan Andi Narogong disebut telah menerima keuntungan dalam proyek e-KTP ini sebesar Rp574,2 miliar.
Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)