Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani - Medcom.id/Faisal Abdalla.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani - Medcom.id/Faisal Abdalla.

Penangkapan Robertus Robet Dinilai Langgar Demokrasi

Nur Azizah • 07 Maret 2019 11:38
Jakarta: Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menilai penangkapan aktivis HAM Robertus Robet ancaman kebebasan sipil di masa reformasi. Robet ditangkap atas tuduhan melanggar UU ITE terkait orasi dalam aksi damai Kamisan pada 28 Februari lalu.
 
Yati menyebut aksi Kamisan yang dilakukan Robet untuk menyoroti rencana pemerintah menempatkan TNI pada kementerian. Rencana ini jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945  dan amandemennya, Undang-undang TNI dan TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. 
 
"Hal ini juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI. Memasukan TNI di kementerian-kementerian sipil juga mengingatkan pada dwi fungsi ABRI pada masa Orde Baru yang telah dihapus melalui TAP MPR X/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyemangat dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan TAP MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI," kata Yati di Jakarta, Kamis 7 Maret 2019.

Menurut Yati, Robet tidak menghina institusi TNI. Dalam refleksinya, Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional.
 
"Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru," terang Yati.
 
(Baca juga: Robertus Robet Tersangka Penghinaan Terhadap TNI)
 
Ia menilai pasal yang menjerat Robet tidak tepat. Sebab, pasal tersebut kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi. Misalnya, Pasal 207 KUHP yang berbunyi, barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
 
Padahal, lanjut dia, pasal tersebut tidak relevan digunakan. Hal ini berdasarkan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Dalam putusan MK dinyatakan, dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah).
 
"Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami menyatakan bahwa penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi. Robertus Robet juga harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan," pungkas dia.
 
Robet ditetapkan sebagai tersangka kasus penghinaan terhadap penguasa atau badan umum. Robet diduga menghina TNI dalam orasi di aksi Kamisan. 
 
Robet disangka melanggar Pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.  
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan