Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tuntutan empat tahun penjara bagi terdakwa kasus penghapusan red notice, Djoko Soegiarto Tjandra, terlalu rendah. Djoko seharusnya dihukum lebih berat.
"(Hukuman) ini belum maksimal karena regulasi yang menjadi dakwaan memungkinkan untuk menuntut maksimal lima tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Jumat, 5 Maret 2021.
Menurut dia, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) cenderung menafikan peran sentral Djoko dalam kejahatan ini. Djoko dinilai mencoreng institusi penegak hukum dengan menyuap jaksa dan perwira tinggi Polri.
"Namun, sepertinya hal itu luput dijadikan dasar pemberat tuntutan," papar Kurnia.
Baca: Tuntutan Djoko Tjandra Dinilai Hanya Meniru dari Kasus Pinangki
Kurnia juga mengkritisi denda Rp100 juta yang dituntut JPU. Djoko seharusnya bisa dikenakan denda hingga Rp250 juta.
Akar masalah ini, kata dia, Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). UU ini hanya memberi hukuman bagi pemberi suap maksimal lima tahun penjara.
"Model ini sebenarnya tidak layak bagi Djoko Tjandra yang harusnya dapat dihukum penjara seumur hidup," terang dia.
Kurnia mendorong hakim mengesampingkan tuntutan JPU sehingga menghukum Djoko Tjandra dengan maksimal. Dia juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut pihak lain yang terlibat dalam pusaran kasus Djoko Tjandra.
JPU menuntut terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. Dia dianggap terbukti terlibat kasus suap penghapusan red notice dan pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).
Djoko disebut menyuap mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte. Dia 'mengguyur' kedua polisi itu dengan SG$200 ribu (Rp2,1 miliar) dan US$420 ribu (Rp5,9 miliar).
Suap diberikan agar nama pengusaha tersebut dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kedua polisi itu memerintahkan penerbitan sejumlah surat kepada Ditjen Imigrasi.
Nama terdakwa akhirnya keluar dari sistem enhanced cekal system (ECS) pada sistem informasi manajemen keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi. Djoko Tjandra yang sempat buron kemudian bisa kembali ke Indonesia untuk mengurus pengajuan fatwa di MA.
Djoko Tjandra memberikan US$500 ribu (Rp7,1 miliar) kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari untuk mengurus fatwa MA. Fatwa itu diharapkan membuat dia tidak dieksekusi atas kasus hak tagih Bank Bali berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009.
Dia didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.
Selain itu, Djoko Tjandra didakwa dengan Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tuntutan empat tahun penjara bagi terdakwa
kasus penghapusan
red notice,
Djoko Soegiarto Tjandra, terlalu rendah. Djoko seharusnya dihukum lebih berat.
"(Hukuman) ini belum maksimal karena regulasi yang menjadi dakwaan memungkinkan untuk menuntut maksimal lima tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Jumat, 5 Maret 2021.
Menurut dia, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) cenderung menafikan peran sentral Djoko dalam kejahatan ini. Djoko dinilai mencoreng institusi penegak hukum dengan menyuap jaksa dan perwira tinggi Polri.
"Namun, sepertinya hal itu luput dijadikan dasar pemberat tuntutan," papar Kurnia.
Baca:
Tuntutan Djoko Tjandra Dinilai Hanya Meniru dari Kasus Pinangki
Kurnia juga mengkritisi denda Rp100 juta yang dituntut JPU. Djoko seharusnya bisa dikenakan denda hingga Rp250 juta.
Akar masalah ini, kata dia, Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). UU ini hanya memberi hukuman bagi pemberi suap maksimal lima tahun penjara.
"Model ini sebenarnya tidak layak bagi Djoko Tjandra yang harusnya dapat dihukum penjara seumur hidup," terang dia.
Kurnia mendorong hakim mengesampingkan tuntutan JPU sehingga menghukum Djoko Tjandra dengan maksimal. Dia juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut pihak lain yang terlibat dalam pusaran kasus Djoko Tjandra.
JPU menuntut terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. Dia dianggap terbukti terlibat kasus suap penghapusan
red notice dan pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).
Djoko disebut menyuap mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte. Dia 'mengguyur' kedua polisi itu dengan SG$200 ribu (Rp2,1 miliar) dan US$420 ribu (Rp5,9 miliar).
Suap diberikan agar nama pengusaha tersebut dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kedua polisi itu memerintahkan penerbitan sejumlah surat kepada Ditjen Imigrasi.
Nama terdakwa akhirnya keluar dari sistem
enhanced cekal system (ECS) pada sistem informasi manajemen keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi. Djoko Tjandra yang sempat buron kemudian bisa kembali ke Indonesia untuk mengurus pengajuan fatwa di MA.
Djoko Tjandra memberikan US$500 ribu (Rp7,1 miliar) kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari untuk mengurus fatwa MA. Fatwa itu diharapkan membuat dia tidak dieksekusi atas kasus hak tagih Bank Bali berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009.
Dia didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.
Selain itu, Djoko Tjandra didakwa dengan Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)