Polri: Masyarakat Bisa Mengadu bila Temukan Jual Beli Restorative Justice
Siti Yona Hukmana • 18 Januari 2023 08:40
Jakarta: Aparat kepolisian terindikasi melakukan jual beli penyelesaian perkara dengan restorative justice atau keadilan restorasi kepada masyarakat. Polri meminta masyarakat mengadu bila menemukan kasus tersebut.
"Sudah ada Pengaduan Masyarakat (Dumas) serta Profesi dan Pengamanan (Propam) Presisi. Masyarakat bisa langsung mengadu secara online dan ditindaklanjuti," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi, Rabu, 18 Januari 2023.
Dedi mengaku belum mendapat informasi terkait ada atau tidaknya anggota melakukan jual beli restorative justice itu. Bila ada pasti ditangani Propam.
"Belum ada info, coba cek Kadiv Propam (Irjen Syahar Diantono) datanya kalau memang ada," ungkap jenderal bintang dua itu.
Dedi mengatakan penyidik menyelesaikan perkara dengan restorative justice berdasarkan regulasi. Yakni Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan dan Peraturan Kapolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Restorative Justice.
"Kalau ada pelanggaran maka penyidik yang melanggar kode etik bisa diproses, kalau terbukti pidana juga diproses. Sudah jelas dan setiap pelanggaran yang terbukti akan ditindak tegas," ujar Dedi.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Komjen Pol (Purn) Adang Darajatun mengungkapkan ada praktik jual-beli penyelesaian perkara melalui restorative justice selama ini. Anggota dewan dari Fraksi PKS itu menyampaikan hal ini dalam rapat kerja dengan LPSK di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta.
"Karena saya lihat di lapangan ini restorative justice ini udah mulai jual-menjual," kata Adang, Senin, 16 Januari 2023.
Adang tak ingin praktik dugaan jual beli restorative justice itu membuka kesempatan kepada masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi untuk 'membeli keadilan'. Dia meminta LPSK ketat memantau penanganan restorative justice tersebut.
"Saya minta kedalaman. ini enggak main-main ya," kata mantan Wakapolri itu.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto tidak kaget dengan fenomena itu. Menurut dia, restorative justice menjadi alasan legalisasi praktik-praktik jual beli pasal oleh penyidik kepolisian. Indikasi itu telah disampaikannya sejak awal restorative justice digulirkan Polri, yakni di era Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Menurut Bambang, hal itu terjadi karena petunjuk pelaksana (juklak) restorative justice tidak atau belum dipahami oleh anggota Polri di level bawah. Kemudian, praktik-praktik jual beli perkara sudah ada sejak lama.
"Diskresi penyidik tanpa kontrol dan pengawasan yang ketat, sekaligus minim akuntabilitas menyebabkan praktek jual beli perkara dengan alasan RJ menjadi hal yang biasa dan jamak dilakukan," kata Bambang kepada Medcom.id, Selasa, 17 Januari 2023.
Dia meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengidentifikasi permasalahan tersebut. Kemudian, menutup celah-celah dari permasalahan itu agar tidak kembali terjadi.
"Dan itu tidak bisa dipecahkan hanya sekadar statement atau seremoni-seremoni saja. Apalagi cuma sekadar "wayangan" tanpa ada langkah-langkah nyata terkait penerbitan juklak, kontrol dan pengawasan," tutur peneliti Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu.
Jakarta: Aparat kepolisian terindikasi melakukan jual beli penyelesaian perkara dengan restorative justice atau keadilan restorasi kepada masyarakat. Polri meminta masyarakat mengadu bila menemukan kasus tersebut.
"Sudah ada Pengaduan Masyarakat (Dumas) serta Profesi dan Pengamanan (Propam) Presisi. Masyarakat bisa langsung mengadu secara online dan ditindaklanjuti," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi, Rabu, 18 Januari 2023.
Dedi mengaku belum mendapat informasi terkait ada atau tidaknya anggota melakukan jual beli restorative justice itu. Bila ada pasti ditangani Propam.
"Belum ada info, coba cek Kadiv Propam (Irjen Syahar Diantono) datanya kalau memang ada," ungkap jenderal bintang dua itu.
Dedi mengatakan penyidik menyelesaikan perkara dengan restorative justice berdasarkan regulasi. Yakni Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan dan Peraturan Kapolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Restorative Justice.
"Kalau ada pelanggaran maka penyidik yang melanggar kode etik bisa diproses, kalau terbukti pidana juga diproses. Sudah jelas dan setiap pelanggaran yang terbukti akan ditindak tegas," ujar Dedi.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Komjen Pol (Purn) Adang Darajatun mengungkapkan ada praktik jual-beli penyelesaian perkara melalui restorative justice selama ini. Anggota dewan dari Fraksi PKS itu menyampaikan hal ini dalam rapat kerja dengan LPSK di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta.
"Karena saya lihat di lapangan ini restorative justice ini udah mulai jual-menjual," kata Adang, Senin, 16 Januari 2023.
Adang tak ingin praktik dugaan jual beli restorative justice itu membuka kesempatan kepada masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi untuk 'membeli keadilan'. Dia meminta LPSK ketat memantau penanganan restorative justice tersebut.
"Saya minta kedalaman. ini enggak main-main ya," kata mantan Wakapolri itu.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto tidak kaget dengan fenomena itu. Menurut dia, restorative justice menjadi alasan legalisasi praktik-praktik jual beli pasal oleh penyidik kepolisian. Indikasi itu telah disampaikannya sejak awal restorative justice digulirkan Polri, yakni di era Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Menurut Bambang, hal itu terjadi karena petunjuk pelaksana (juklak) restorative justice tidak atau belum dipahami oleh anggota Polri di level bawah. Kemudian, praktik-praktik jual beli perkara sudah ada sejak lama.
"Diskresi penyidik tanpa kontrol dan pengawasan yang ketat, sekaligus minim akuntabilitas menyebabkan praktek jual beli perkara dengan alasan RJ menjadi hal yang biasa dan jamak dilakukan," kata Bambang kepada Medcom.id, Selasa, 17 Januari 2023.
Dia meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengidentifikasi permasalahan tersebut. Kemudian, menutup celah-celah dari permasalahan itu agar tidak kembali terjadi.
"Dan itu tidak bisa dipecahkan hanya sekadar statement atau seremoni-seremoni saja. Apalagi cuma sekadar "wayangan" tanpa ada langkah-langkah nyata terkait penerbitan juklak, kontrol dan pengawasan," tutur peneliti Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)