Jakarta: Korps Bhayangkara tak akan membiarkan anggota memanfaatkan penyelesaian perkara dengan restorative justice atau keadilan restorasi demi keuntungan pribadi. Anggota yang kedapatan melakukan jual beli restorative justice akan ditindak tegas.
"Kalau ada pelanggaran maka penyidik yang melanggar kode etik bisa diproses," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada Medcom.id, Selasa, 17 Januari 2023.
Dedi mengatakan bahkan anggota atau penyidik yang menangani kasus itu bisa diproses pidana. Hal itu dilakukan bila kejahatannya terbukti.
"Kalau terbukti pidana juga diproses. Sudah jelas dan setiap pelanggaran yang terbukti akan ditindak tegas," ujar jenderal bintang dua itu.
Dedi menyebut ada regulasi yang mengatur terkait penyelesaian perkara dengan restorative justice. Yakni Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan dan Peraturan Kapolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Restorative Justice.
"Itu yang menjadi dasar penyidik," ucap dia.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Komjen Pol (Purn) Adang Darajatun mengungkapkan ada praktik jual-beli penyelesaian perkara melalui restorative justice selama ini. Anggota dewan dari Fraksi PKS itu menyampaikan hal ini dalam rapat kerja dengan LPSK di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta.
"Karena saya lihat di lapangan ini restorative justice ini sudah mulai jual-menjual," kata Adang, Senin, 16 Januari 2023.
Adang tak ingin praktik dugaan jual beli restorative justice itu membuka kesempatan kepada masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi untuk 'membeli keadilan'. Dia meminta LPSK ketat memantau penanganan restorative justice tersebut.
"Saya minta kedalaman. ini enggak main-main ya," kata mantan Wakapolri itu.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto tidak kaget dengan fenomena itu. Menurut dia, restorative justice menjadi alasan legalisasi praktik-praktik jual beli pasal oleh penyidik kepolisian. Indikasi itu telah disampaikannya sejak awal restorative justice digulirkan Polri, yakni di era Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Menurut Bambang, hal itu terjadi karena petunjuk pelaksana (juklak) restorative justice tidak atau belum dipahami oleh anggota Polri di level bawah. Kemudian, praktik-praktik jual beli perkara sudah ada sejak lama.
"Diskresi penyidik tanpa kontrol dan pengawasan yang ketat, sekaligus minim akuntabilitas menyebabkan praktek jual beli perkara dengan alasan RJ menjadi hal yang biasa dan jamak dilakukan," kata Bambang kepada Medcom.id, Selasa, 17 Januari 2023.
Dia meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengidentifikasi permasalahan tersebut. Kemudian, menutup celah-celah dari permasalahan itu agar tidak kembali terjadi.
"Dan itu tidak bisa dipecahkan hanya sekadar statemen atau seremoni-seremoni saja. Apalagi cuma sekadar 'wayangan' tanpa ada langkah-langkah nyata terkait penerbitan juklak, kontrol dan pengawasan," tutur peneliti Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu.
Jakarta: Korps Bhayangkara tak akan membiarkan anggota memanfaatkan penyelesaian perkara dengan
restorative justice atau keadilan restorasi demi keuntungan pribadi. Anggota yang kedapatan melakukan
jual beli restorative justice akan ditindak tegas.
"Kalau ada pelanggaran maka penyidik yang melanggar kode etik bisa diproses," kata Kepala Divisi Humas
Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada
Medcom.id, Selasa, 17 Januari 2023.
Dedi mengatakan bahkan anggota atau penyidik yang menangani kasus itu bisa diproses pidana. Hal itu dilakukan bila kejahatannya terbukti.
"Kalau terbukti pidana juga diproses. Sudah jelas dan setiap pelanggaran yang terbukti akan ditindak tegas," ujar jenderal bintang dua itu.
Dedi menyebut ada regulasi yang mengatur terkait penyelesaian perkara dengan
restorative justice. Yakni Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan dan Peraturan Kapolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang
Restorative Justice.
"Itu yang menjadi dasar penyidik," ucap dia.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Komjen Pol (Purn) Adang Darajatun mengungkapkan ada praktik jual-beli penyelesaian perkara melalui
restorative justice selama ini. Anggota dewan dari Fraksi PKS itu menyampaikan hal ini dalam rapat kerja dengan LPSK di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta.
"Karena saya lihat di lapangan ini
restorative justice ini sudah mulai jual-menjual," kata Adang, Senin, 16 Januari 2023.
Adang tak ingin praktik dugaan jual beli
restorative justice itu membuka kesempatan kepada masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi untuk 'membeli keadilan'. Dia meminta LPSK ketat memantau penanganan
restorative justice tersebut.
"Saya minta kedalaman. ini enggak main-main ya," kata mantan Wakapolri itu.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto tidak kaget dengan fenomena itu. Menurut dia,
restorative justice menjadi alasan legalisasi praktik-praktik jual beli pasal oleh penyidik kepolisian. Indikasi itu telah disampaikannya sejak awal
restorative justice digulirkan Polri, yakni di era Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Menurut Bambang, hal itu terjadi karena petunjuk pelaksana (juklak)
restorative justice tidak atau belum dipahami oleh
anggota Polri di level bawah. Kemudian, praktik-praktik jual beli perkara sudah ada sejak lama.
"Diskresi penyidik tanpa kontrol dan pengawasan yang ketat, sekaligus minim akuntabilitas menyebabkan praktek jual beli perkara dengan alasan RJ menjadi hal yang biasa dan jamak dilakukan," kata Bambang kepada
Medcom.id, Selasa, 17 Januari 2023.
Dia meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengidentifikasi permasalahan tersebut. Kemudian, menutup celah-celah dari permasalahan itu agar tidak kembali terjadi.
"Dan itu tidak bisa dipecahkan hanya sekadar statemen atau seremoni-seremoni saja. Apalagi cuma sekadar 'wayangan' tanpa ada langkah-langkah nyata terkait penerbitan juklak, kontrol dan pengawasan," tutur peneliti Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)