medcom.id, Jakarta: Islam dianggap batu sandungan sekaligus ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda dalam menguasai Nusantara. Sejak masih dalam kendali kongsi dagang VOC, banyak perlawanan dan pemberontakan yang dimotori ulama di pelosok-pelosok desa.
Baca: Mengenal Istilah Hajiphobia Zaman Belanda
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 M.C. Ricklefs menuliskan bahwa puncak kekhawatiran kolonial Belanda terhadap Islam ditunjukkan dengan diterbitkannya peraturan khusus untuk para guru agama.
"Pada 1905, pemerintah mempermaklumkan suatu goeroe ordonnantie, "peraturan guru", untuk Jawa yang menyatakan bahwa sebelum pelajaran agama diberikan, harus ada izin tertulis dari penguasa dan harus menyerahkan daftar murid-murid di dalamnya," tulis Ricklefs.
Penulis M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji di Indonesia menyebut dalam istilah Belanda Islam sebagai het gevaarlijkste elemen voor Indie, als Mohammadansche fanatisme alias elemen paling berbahaya dan patut diawasi. Kewas-wasan penjajah terhadap gerakan Islam pada akhirnya merangsek ke segala urusan ibadah Muslim pribumi. Kekhawatiran ini ditambah dengan menguatnya hubungan internasional antarmasyarakat Muslim terjajah di berbagai belahan dunia melalui momentum haji.
"Pada abad 19, Belanda menganggap Islam sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup kolonialisme," tulis Putuhena.
Baca: Haji, Semangat Perlawanan, dan Persatuan Islam
Termasuk terhadap ibadah kurban. Pemerintah Belanda melihat kegigihan umat Islam untuk menyisihkan sebagian hartanya dalam berbagi ini merasa penting untuk diganjal juga. Tidak lama, muncul isu bahwa Belanda sedang menggodok peraturan baru yang secara khusus mengatur adanya pajak bagi hewan kurban yang hendak dipotong. Rencana yang ditengarai akan memberatkan umat Islam ini langsung ditentang Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), termasuk di dalamnya Muhammadiyah. Suara penolakan ini dimunculkan melalui kongres pertama yang dihelat pada 26 Februari - 1 Maret 1938 di Surabaya.
"Pada 1938 Muhammadiyah menentang adanya pajak yang dikenakan bagi pemotongan hewan kurban di setiap Iduladha. Tuntutan ini berhasil," tulis Nasruddin Anshoriy dalam Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan.
medcom.id, Jakarta: Islam dianggap batu sandungan sekaligus ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda dalam menguasai Nusantara. Sejak masih dalam kendali kongsi dagang VOC, banyak perlawanan dan pemberontakan yang dimotori ulama di pelosok-pelosok desa.
Baca: Mengenal Istilah Hajiphobia Zaman Belanda
Dalam buku
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 M.C. Ricklefs menuliskan bahwa puncak kekhawatiran kolonial Belanda terhadap Islam ditunjukkan dengan diterbitkannya peraturan khusus untuk para guru agama.
"Pada 1905, pemerintah mempermaklumkan suatu
goeroe ordonnantie, "peraturan guru", untuk Jawa yang menyatakan bahwa sebelum pelajaran agama diberikan, harus ada izin tertulis dari penguasa dan harus menyerahkan daftar murid-murid di dalamnya," tulis Ricklefs.
Penulis M. Shaleh Putuhena dalam
Historiografi Haji di Indonesia menyebut dalam istilah Belanda Islam sebagai
het gevaarlijkste elemen voor Indie, als Mohammadansche fanatisme alias elemen paling berbahaya dan patut diawasi. Kewas-wasan penjajah terhadap gerakan Islam pada akhirnya merangsek ke segala urusan ibadah Muslim pribumi. Kekhawatiran ini ditambah dengan menguatnya hubungan internasional antarmasyarakat Muslim terjajah di berbagai belahan dunia melalui momentum haji.
"Pada abad 19, Belanda menganggap Islam sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup kolonialisme," tulis Putuhena.
Baca: Haji, Semangat Perlawanan, dan Persatuan Islam
Termasuk terhadap ibadah kurban. Pemerintah Belanda melihat kegigihan umat Islam untuk menyisihkan sebagian hartanya dalam berbagi ini merasa penting untuk diganjal juga. Tidak lama, muncul isu bahwa Belanda sedang menggodok peraturan baru yang secara khusus mengatur adanya pajak bagi hewan kurban yang hendak dipotong. Rencana yang ditengarai akan memberatkan umat Islam ini langsung ditentang Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), termasuk di dalamnya Muhammadiyah. Suara penolakan ini dimunculkan melalui kongres pertama yang dihelat pada 26 Februari - 1 Maret 1938 di Surabaya.
"Pada 1938 Muhammadiyah menentang adanya pajak yang dikenakan bagi pemotongan hewan kurban di setiap Iduladha. Tuntutan ini berhasil," tulis Nasruddin Anshoriy dalam
Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SBH)