Malang: Devi Athok, 48, adalah salah satu keluarga korban meninggal pada tragedi Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022 lalu. Dua anak kandungnya meregang nyawa di malam tragedi itu.
Pria asal Desa Krebet Senggrong, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu sempat mengajukan autopsi dua putrinya yakni Natasya Deby Ramadhani, 16, dan Nayla Deby Anggraeni, 13. Namun belakangan, ia membatalkan pengajuan itu.
Kuasa hukum Devi Athok, Imam Hidayat, menerangkan, awalnya Devi bersedia kedua anaknya dilakukan autopsi. Keputusan itu dikeluarkan setelah Devi bertemu dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) beberapa waktu lalu.
"Lalu LPSK beritahu saya bahwa klien saya bersedia diautopsi. Kemudian saya bilang ke tim TGIPF," katanya saat ditemui di kediaman Devi Athok, Rabu malam 19 Oktober 2022.
Imam mengaku, TGIPF atau Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menjelaskan bahwa ada dua tujuan dilakukan autopsi ini. Yakni untuk kepentingan pro justitia atau kepentingan penyidikan dan kepentingan riset dan keilmuan para akademisi.
Mendapat penjelasan dari TGIPF itu, Imam kemudiam meminta kepada Devi untuk membuatkan surat pernyataan bersedia diautopsi. Surat pernyataan itu kemudian diserahkan ke TGIPF.
"Ternyata begitu surat saya kasihkan, besoknya Mabes Polri sudah konpres (konferensi press) akan melakukan autopsi di tanggal 20. Saya pun kaget, apalagi Mas Devi," ujarnya.
Setelah pernyataan dari Mabes Polri itu, Imam mengaku bahwa rumah Devi beberapa kali didatangi oleh anggota polisi secara intensif. Kedatangan sejumlah anggota polisi itu, diakui Imam, tidak melakukan upaya intimidasi secara fisik.
"Tapi dengan kedatangan mereka dengan berkata-kata yang menurut Mas Devi ini enggak bagus komunikasinya, membuat mereka itu takut, khawatir. Akhirnya dengan keadaan seperti itu, mereka sepakat keluarga untuk membatalkan autopsi itu," jelasnya.
Keputusan pembatalan autopsi itu kemudian menjadi ramai di kalangan publik. Sebab keputusan ini diisukan ada indikasi campur tangan polisi. Pihak LPSK dan TGIPF pun menghubungi Imam terkait keputusan Devi tersebut.
Hingga kemudian, TGIPF mendatangi rumah Devi, Rabu malam 19 Oktober 2022. Kedatangan TGIPF yang diwakili Irjen Armed Wijata ini untuk mengkonfirmasi terkait kabar adanya intimidasi polisi terhadap keluarga korban.
"Tadi TGIPF itu ditugaskan khusus Pak Menko Polhukam untuk memastikan apakah pencabutan itu murni karena keinginan keluarga atau ada intimidasi, meskipun intimidasi itu mungkin tidak secara kasat mata artinya psikis," imbuhnya.
Kepada TGIPF, Devi sempat mengutarakan salah satu kekhawatirannya apabila autopsi dilakukan oleh pihak dokter dari polisi. Namun kekhawatiran itu kemudian mendapat jawaban dari TGIPF.
"Ternyata mereka Polda Jatim meminta kepada Persatuan Dokter Forensik Indonesia untuk meminta bantuan dilakukan autopsi. Jumlahnya dokter forensik itu ada enam, satu dari dokpol, yang lain mungkin dari perguruan tinggi, bisa UMM, UB atau Unair, yang sisanya dari Persatuan Dokter Forensik Indonesia," ungkapnya
"Dan autopsi itu dieksekusi di mana almarhumah ini dimakamkan. Jadi disitu terus diautopsi 3-4 jam, setelah itu dikuburkan kembali. Jadi ada dua hal itu yang dikhawatirkan oleh Mas Devi dan keluarga tapi sudah terjawab oleh Pak Armed," tambahnya.
Setelah mendapat penjelasan dari TGIPF, Imam mengaku pihak Devi bakal berpikir ulang untuk menyampaikan keputusan final terkait autopsi. Devi masih membutuhkan waktu satu-dua hari untu berunding dengan keluarga terlebih dahulu.
"Belum memastikan iya atau tidak. Tapi masih perlu berpikir. Harapan saya secara pribadi, keluarga ini dalam waktu satu dua hari ini memberikan lampu hijau untuk melakukan autopsi, demi kepentingan kebenaran," terangnya.
Malang: Devi Athok, 48, adalah salah satu keluarga korban meninggal pada
tragedi Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022 lalu. Dua anak kandungnya meregang nyawa di malam tragedi itu.
Pria asal Desa Krebet Senggrong, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu sempat mengajukan
autopsi dua putrinya yakni Natasya Deby Ramadhani, 16, dan Nayla Deby Anggraeni, 13. Namun belakangan, ia membatalkan pengajuan itu.
Kuasa hukum Devi Athok, Imam Hidayat, menerangkan, awalnya Devi bersedia kedua anaknya dilakukan autopsi. Keputusan itu dikeluarkan setelah Devi bertemu dengan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) beberapa waktu lalu.
"Lalu LPSK beritahu saya bahwa klien saya bersedia diautopsi. Kemudian saya bilang ke tim TGIPF," katanya saat ditemui di kediaman Devi Athok, Rabu malam 19 Oktober 2022.
Imam mengaku, TGIPF atau Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menjelaskan bahwa ada dua tujuan dilakukan autopsi ini. Yakni untuk kepentingan pro justitia atau kepentingan penyidikan dan kepentingan riset dan keilmuan para akademisi.
Mendapat penjelasan dari TGIPF itu, Imam kemudiam meminta kepada Devi untuk membuatkan surat pernyataan bersedia diautopsi. Surat pernyataan itu kemudian diserahkan ke TGIPF.
"Ternyata begitu surat saya kasihkan, besoknya Mabes Polri sudah konpres (konferensi press) akan melakukan autopsi di tanggal 20. Saya pun kaget, apalagi Mas Devi," ujarnya.
Setelah pernyataan dari Mabes Polri itu, Imam mengaku bahwa rumah Devi beberapa kali didatangi oleh anggota polisi secara intensif. Kedatangan sejumlah anggota polisi itu, diakui Imam, tidak melakukan upaya intimidasi secara fisik.
"Tapi dengan kedatangan mereka dengan berkata-kata yang menurut Mas Devi ini enggak bagus komunikasinya, membuat mereka itu takut, khawatir. Akhirnya dengan keadaan seperti itu, mereka sepakat keluarga untuk membatalkan autopsi itu," jelasnya.
Keputusan pembatalan autopsi itu kemudian menjadi ramai di kalangan publik. Sebab keputusan ini diisukan ada indikasi campur tangan polisi. Pihak LPSK dan TGIPF pun menghubungi Imam terkait keputusan Devi tersebut.
Hingga kemudian, TGIPF mendatangi rumah Devi, Rabu malam 19 Oktober 2022. Kedatangan TGIPF yang diwakili Irjen Armed Wijata ini untuk mengkonfirmasi terkait kabar adanya intimidasi polisi terhadap keluarga korban.
"Tadi TGIPF itu ditugaskan khusus Pak Menko Polhukam untuk memastikan apakah pencabutan itu murni karena keinginan keluarga atau ada intimidasi, meskipun intimidasi itu mungkin tidak secara kasat mata artinya psikis," imbuhnya.
Kepada TGIPF, Devi sempat mengutarakan salah satu kekhawatirannya apabila autopsi dilakukan oleh pihak dokter dari polisi. Namun kekhawatiran itu kemudian mendapat jawaban dari TGIPF.
"Ternyata mereka Polda Jatim meminta kepada Persatuan Dokter Forensik Indonesia untuk meminta bantuan dilakukan autopsi. Jumlahnya dokter forensik itu ada enam, satu dari dokpol, yang lain mungkin dari perguruan tinggi, bisa UMM, UB atau Unair, yang sisanya dari Persatuan Dokter Forensik Indonesia," ungkapnya
"Dan autopsi itu dieksekusi di mana almarhumah ini dimakamkan. Jadi disitu terus diautopsi 3-4 jam, setelah itu dikuburkan kembali. Jadi ada dua hal itu yang dikhawatirkan oleh Mas Devi dan keluarga tapi sudah terjawab oleh Pak Armed," tambahnya.
Setelah mendapat penjelasan dari TGIPF, Imam mengaku pihak Devi bakal berpikir ulang untuk menyampaikan keputusan final terkait autopsi. Devi masih membutuhkan waktu satu-dua hari untu berunding dengan keluarga terlebih dahulu.
"Belum memastikan iya atau tidak. Tapi masih perlu berpikir. Harapan saya secara pribadi, keluarga ini dalam waktu satu dua hari ini memberikan lampu hijau untuk melakukan autopsi, demi kepentingan kebenaran," terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)