Pengamat sejarah, Agung Buana, mengatakan Monumen Hamid Rusdi dibangun atas inisiasi Korem 083/Baladhika Jaya dan Pemerintah Kota (Pemkot) Malang. Monumen ini diresmikan pertama kali pada 10 November 1975 lalu.
"Selain di Simpang Balapan, juga ada Monumen Hamid Rusdi di areal Taman Rekreasi Sena Putra Malang," katanya saat dihubungi Medcom.id, Senin 7 Agustus 2023.
Agung menceritakan Hamid Rusdi merupakan anak dari pasangan H Umar Roesdi dan Mbok Teguh yang lahir di Desa Sumbermanjing Kulon, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang, pada 1911 silam. Ia merupakan anak kedua dari delapan bersaudara.
"Hamid Rusdi lahir dari keluarga kaya raya. Orang tuanya tuan tanah," ungkap Agung.
Agung mengaku Hamid Rusdi aktif berorganisasi ketika menginjak masa remaja. Ia pernah bergabung dengan organisasi pemuda bentukan Nahdlatul Ulama (NU) yang bernama Pandu Ansor (kini GP Ansor).
"Hamid Rusdi pernah aktif di Pramuka. Dulu namanya Pandu," imbuhnya.
Baca: Koleksi Museum Dewantara Kirti Griya Rusak Imbas Tawuran |
Di organisasi kepramukaan inilah, mental Hamid Rusdi yang masih remaja itu digembleng. Dari Pandu Ansor, dia pun memahami arti nasionalisme dan heroisme untuk menentang penjajah.
Bahkan ketika ada gerakan melawan penjajah Belanda hingga pemberontakan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), Hamid Rusdi selalu berada di garda depan. Jiwa keberaniannya sudah tertempa di Pandu Ansor.
Semasa remaja, Hamid Rusdi juga pernah bekerja di Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas Kelas I Malang (sebelumnya Lapas Lowokwaru). Di sana, ia bekerja sebagai sopir hingga kemudian menjadi sipir penjara.
"Ini masih banyak masyarakat yang belum tahu kalau Hamid Rusdi pernah bekerja sebagai sopir di Lapas Lowokwaru. Di sana ia dilatih oleh tentara Jepang," ujarnya.
Sejak 1943, Hamid Rusdi dilatih oleh tentara Jepang setelah Jepang merebut Indonesia yang awalnya dijajah Belanda. Jepang kemudian angkat kaki dari Indonesia setelah tragedi bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki pada 1945.
Ketika Indonesia melucuti senjata tentara Jepang, Hamid Rusdi ikut serta dalam pelucutan itu. Dengan alasan membela Tanah Air, Hamid Rusdi tetap melucuti tentara Jepang yang sudah melatihnya itu.
"Pelucutan senjata tentara Jepang itu bukan perkara mudah. Tetapi Hamid Rusdi saat itu menjadi komandannya dengan gagah berani melucuti senjata tentara Jepang," tuturnya.
Agung menerangkan, setelah Indonesia merdeka, Hamid Rusdi kemudian direkrut menjadi Badan Keamanan Rakyat atau BKR (saat ini TNI). Ketika diangkat menjadi tentara, pangkat pertama Hamid adalah letnan satu.
Setelah itu, karier Hamid Rusdi terus menanjak hingga pada akhirnya dia berpangkat Letnan Kolonel. Hanya saja pada 1948, Hamid harus turun pangkat menjadi Mayor.
Penurunan satu strip pangkat ini tidak hanya untuk Hamid Rusdi, tapi juga untuk semua tentara di Indonesia. Ini setelah ada kebijakan bernama Rekonstruksi dan Rasionalisasi (ReRa).
Dengan menurunkan satu pangkat tentara, maka dana untuk gaji bisa ditekan. Kebijakan ini juga untuk menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran negara.
"Ini untuk menghemat keuangan negara. Karena saat itu Indonesia baru saja merdeka dan masih belum punya banyak anggaran," ungkapnya.
Baca: Mochtar Kusumaatmadja Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ini 3 Kontribusi Besarnya |
Agung menyebutkan Hamid Rusdi merupakan pahlawan yang telah melewati tiga masa perjuangan, mulai dari masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga pasca kemerdekaan. Prestasi Hamid Rusdi lainnya, adalah menumpas PKI di kawasan Malang Selatan.
Di sisi lain, pada 1946, Hamid Rusdi menikahi seorang wanita berkebangsaan Jerman bernama Geetrada Josephine Schwarz. Setelah menikah, Geetrada masuk Islam dan berganti nama menjadi Siti Fatimah.
"Saat itu keduanya menikah dengan adat Islam," bebernya.
Berbicara tentang Hamid Rusdi pun tidak lepas dengan bahasa walikan. Bahasa ini mulai berkembang pada 1949 silam, ketika Agresi Militer Belanda ke-2.
Bahasa walikan berasal dari pemikiran para pejuang yang tergabung dalam kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK) yang dipimpin Hamid Rusdi. Bahasa walikan ini digunakan menjadi kode atau sandi saat berkomunikasi dengan anggota kelompoknya.
Pada saat itu, para pejuang mencari cara tertentu untuk mengirim pesan karena banyaknya mata-mata yang tidak jelas mana lawan dan kawan. Hingga kemudian tercetuslah ide untuk menggunakan bahasa walikan atau boso walikan.
"Jadi contohnya apabila ingin bicara bagus sekali atau apik sekali diganti jadi kipa ilakes. Bahasa walikan ini untuk mengelabuhi Belanda saat itu," ungkapnya.
Hamid Rusdi gugur sebagai pahlawan bangsa di usia 38 tahun pada 8 Maret 1949. Ia gugur ditembak oleh pasukan Belanda di pinggir sungai di Wonokoyo, Kedungkandang saat Agresi Militer Belanda ke-2.
Awalnya, Hamid Rusdi dimakamkan di pemakaman Desa Wonokoyo hingga kemudian makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Suropati, Kota Malang pada akhir 1949. Nama Hamid Rusdi pun diabadikan sebagai nama jalan maupun terminal di Kota Malang
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id