Bantul: Sebuah cekungan tembaga dengan penyangga adonan semen yang dipadatkan terpatri di sisi utara Masjid Sabilurrosyaad, Dusun Kauman, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di tepi cekungan tembaga tersebut tergurat deretan angka.
Angka 5 hingga 1 terdapat di sisi kiri, dan angka 7 hingga 11 ada di sisi kanan. Sementara, angka 12 berada tepat di tengah.
Cekungan tembaga dengan tulisan angka tersebut merupakan jam tradisional sebagai penunjuk waktu salat. Masyarakat setempat menyebut jam matahari atau jam matahari bencet. Jam tersebut sudah berusia lebih dari 60 tahun.
Baca: Kenapa Rasulullah Menganjurkan 3 Butir Kurma? Ini Manfaat Ajaibnya
Ketua Takmir Masjid Sabilurrosya'ad Haryadi, menjelaskan jam manual dengan dasar sinar matahari itu ada sejak 1950. Jam tersebut ada karena dibawa santri yang pernah mengaji di di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Haryadi sudah tak tahu pasti kapan jam itu tiba di masjid milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
"Jam ini ada sebelum (Indonesia) merdeka. Dulu berpindah-pindah, sesuai tempat yang relatif tidak terhalang adanya sinar matahari," kata Haryadi di Bantul, Jumat, 16 April 2021.
Sebelum ada jam seperti saat ini, jam tersebut menjadi perangkat vital masjid. Pengurus masjid harus melihat jam tersebut sebelum mengalunkan azan penunjuk tibanya waktu salat.
Ia menggambarkan, jam itu dipakai untuk menunjukkan masuknya waktu salat zuhur, ashar, dan maghrib. Masuknya waktu zuhur ditandai dengan bayang-bayang paku berada pada angka 12.
Baca: Pengrajin di Yogyakarta Ciptakan Kue Lebaran Bermotif Covid-19
Lalu, saat masuk waktu salat ashar, bayang-bayang paku menunjuk angka 3 atau pada bayangan 45 derajat. Masuknya waktu maghrib ketika matahari sudah terbenam dan bayangan paku sudah tak tampak lagi. Sementara, saat awal matahari terbit hingga sebelum masuk waktu zuhur bisa sebagai penanda waktu salat dhuha.
"Jam 12 menurut jam ini pas titik matahari lurus (bayangan paku) belum tentu jam 12 tepat. Bisa saja masih jam 11.40 kalau WIB. Istilahnya istiwak itu adalah waktu ibadah," kata dia.
Ia mengatakan, takmir masjid sudah tak memakai sepenuhnya jam tersebut. Menurut dia, jam mahatari bencet sebatas untuk mencocokkan jam waktu salat. Meski begitu, jam tersebut menjadi saksi sejarah peradaban kegiatan keagamaan di lokasi itu, termasuk saat Ramadan.
Bantul: Sebuah cekungan tembaga dengan penyangga adonan semen yang dipadatkan terpatri di sisi utara
Masjid Sabilurrosyaad, Dusun Kauman, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di tepi cekungan tembaga tersebut tergurat deretan angka.
Angka 5 hingga 1 terdapat di sisi kiri, dan angka 7 hingga 11 ada di sisi kanan. Sementara, angka 12 berada tepat di tengah.
Cekungan tembaga dengan tulisan angka tersebut merupakan jam tradisional sebagai penunjuk waktu salat. Masyarakat setempat menyebut jam matahari atau jam matahari bencet. Jam tersebut sudah berusia lebih dari 60 tahun.
Baca: Kenapa Rasulullah Menganjurkan 3 Butir Kurma? Ini Manfaat Ajaibnya
Ketua Takmir Masjid Sabilurrosya'ad Haryadi, menjelaskan jam manual dengan dasar sinar matahari itu ada sejak 1950. Jam tersebut ada karena dibawa santri yang pernah mengaji di di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Haryadi sudah tak tahu pasti kapan jam itu tiba di masjid milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
"Jam ini ada sebelum (Indonesia) merdeka. Dulu berpindah-pindah, sesuai tempat yang relatif tidak terhalang adanya sinar matahari," kata Haryadi di Bantul, Jumat, 16 April 2021.
Sebelum ada jam seperti saat ini, jam tersebut menjadi perangkat vital masjid. Pengurus masjid harus melihat jam tersebut sebelum mengalunkan azan penunjuk tibanya waktu salat.
Ia menggambarkan, jam itu dipakai untuk menunjukkan masuknya waktu salat zuhur, ashar, dan maghrib. Masuknya waktu zuhur ditandai dengan bayang-bayang paku berada pada angka 12.
Baca: Pengrajin di Yogyakarta Ciptakan Kue Lebaran Bermotif Covid-19
Lalu, saat masuk waktu salat ashar, bayang-bayang paku menunjuk angka 3 atau pada bayangan 45 derajat. Masuknya waktu maghrib ketika matahari sudah terbenam dan bayangan paku sudah tak tampak lagi. Sementara, saat awal matahari terbit hingga sebelum masuk waktu zuhur bisa sebagai penanda waktu salat dhuha.
"Jam 12 menurut jam ini pas titik matahari lurus (bayangan paku) belum tentu jam 12 tepat. Bisa saja masih jam 11.40 kalau WIB. Istilahnya istiwak itu adalah waktu ibadah," kata dia.
Ia mengatakan, takmir masjid sudah tak memakai sepenuhnya jam tersebut. Menurut dia, jam mahatari bencet sebatas untuk mencocokkan jam waktu salat. Meski begitu, jam tersebut menjadi saksi sejarah peradaban kegiatan keagamaan di lokasi itu, termasuk saat Ramadan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)