Sleman: Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, meminta Pemerintah Kabupaten Sleman mencegah diskriminasi terhadap pengungsi. Ia mengatakan, kasus diskriminasi agama sempat terjadi saat erupsi Gunung Merapi 2010.
"Tidak boleh masuk (ke barak pengungsian) kecuali orang tertentu yang boleh masuk dengan agama tertentu. Saya tidak ingin mengulang kejadian itu," kata Sri Sultan saat meninjau barak pengungsian Merapi di Balai Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Selasa, 10 November 2020.
Sri Sultan mengatakan, keselamatan warga menjadi tanggung jawab pemerintah. Artinya, kata dia, berbagai kebutuhan pengungsi di barak harus disediakan pemerintah.
"Kecuali kalau dia ngragati (memodali) sendiri, masalah lain. Tapi, di sini pun kita tidak akan sependapat kalau seperti itu. Nanti masyarakatnya berkelompok-kelompok yang tidak semestinya itu terjadi, karena itu tanggung jawab pemerintah," terangnya.
Baca: Jalur Evakuasi Bencana Merapi di Magelang Segera Diperbaiki
Sri Sultan menegaskan hal itu di hadapan jajaran Pemerintah Kabupaten Sleman. Mulai dari Bupati Sleman, Sri Purnomo, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), hingga pemerintah tingkat kecamatan dan desa.
Ia meminta tak ada konflik sosial di lingkungan masyarakat, termasuk dalam situasi bencana. Menurut dia, konflik sosial yang 10 tahun lalu itu terjadi juga di Kecamatan Cangkringan.
"Tidak ada lagi pengungsian yang didominasi agama tertentu, sehingga (pemeluk agama) yang lain tidak boleh masuk," ujarnya.
Jumlah pengungsi di Balai Desa Glagaharjo mencapai 185 orang. Mereka kebanyakan dari Dusun Karangtengah Lor, lokasi terdekat dengan puncak Gunung Merapi, yakni kurang dari 5 kilometer. Gunung Merapi saat ini masih berstatus siaga.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X (depan) saat memantau barak pengungsian di Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Foto: Humas Pemerintah DIY.
Sleman: Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, meminta Pemerintah Kabupaten Sleman mencegah diskriminasi terhadap pengungsi. Ia mengatakan, kasus diskriminasi agama sempat terjadi saat erupsi
Gunung Merapi 2010.
"Tidak boleh masuk (ke barak pengungsian) kecuali orang tertentu yang boleh masuk dengan agama tertentu. Saya tidak ingin mengulang kejadian itu," kata Sri Sultan saat meninjau barak pengungsian Merapi di Balai Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Selasa, 10 November 2020.
Sri Sultan mengatakan, keselamatan warga menjadi tanggung jawab pemerintah. Artinya, kata dia, berbagai kebutuhan pengungsi di barak harus disediakan pemerintah.
"Kecuali kalau dia ngragati (memodali) sendiri, masalah lain. Tapi, di sini pun kita tidak akan sependapat kalau seperti itu. Nanti masyarakatnya berkelompok-kelompok yang tidak semestinya itu terjadi, karena itu tanggung jawab pemerintah," terangnya.
Baca: Jalur Evakuasi Bencana Merapi di Magelang Segera Diperbaiki
Sri Sultan menegaskan hal itu di hadapan jajaran Pemerintah Kabupaten Sleman. Mulai dari Bupati Sleman, Sri Purnomo, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), hingga pemerintah tingkat kecamatan dan desa.
Ia meminta tak ada konflik sosial di lingkungan masyarakat, termasuk dalam situasi bencana. Menurut dia, konflik sosial yang 10 tahun lalu itu terjadi juga di Kecamatan Cangkringan.
"Tidak ada lagi pengungsian yang didominasi agama tertentu, sehingga (pemeluk agama) yang lain tidak boleh masuk," ujarnya.
Jumlah pengungsi di Balai Desa Glagaharjo mencapai 185 orang. Mereka kebanyakan dari Dusun Karangtengah Lor, lokasi terdekat dengan puncak Gunung Merapi, yakni kurang dari 5 kilometer. Gunung Merapi saat ini masih berstatus siaga.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X (depan) saat memantau barak pengungsian di Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Foto: Humas Pemerintah DIY.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)