Surabaya: Tidak adanya sinkronisasi data membuat data korban tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, simpang siur. Untuk itu, pemerintah didesak membentuk Pencatatan Data Terpusat terkait hal tersebut.
"Kejadian di Kanjuruhan sangat memilukan, karena memantik empati luar biasa. Tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dunia internasional. Sangat disayangkan jika data yang disampaikan berbeda-beda. Sehingga pemerintah harus membentuk pencatatan terpusat," kata Ketua Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (GM FKPPI) Jatim, Agoes Soerjanto, Senin, 3 Oktober 2022.
Agoes menyebut data yang disampaikan para pejabat dari beberapa instansi tidak sama alias simpang siur. Padahal, pejabat yang menyampaikan itu dinilai sangat kompeten untuk menjadi rujukan, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran di masyarakat.
Contohnya, data yang disampaikan Presiden Joko Widodo yang menyebut jumlah korban sebanyak 129 orang meninggal dunia. Jumlah ini berbeda dengan yang disampaikan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang memastikan korban meninggal 125 orang.
Beda lagi dengan Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak yang menyebut jumlah korban sebanyak 131 orang. Bahkan sebelumnya, Wagub Emil menyebut jumlah korban mencapai 174 orang, berdasarkan data yang didapatnya dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim. Namun, akhirnya dikoreksi menjadi 131 orang.
"Jumlah berbeda lagi disampaikan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Malang, yang menyebut jumlah korban meninggal dunia sebanyak 182 orang. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah korban luka-luka, baik ringan maupun berat," ucap Agoes.
Menurut Agoes, pemerintah harus segera membuat lembaga atau tim khusus yang ditunjuk menjadi rujukan data yang akan dikeluarkan. Pencatatan data terpusat ini penting agar tidak semua orang bisa menyampaikan data sesuai yang ia dapat, sehingga akhirnya data yang disampaikan berbeda satu dengan yang lainnya.
Baca: Gibran Pasrah Jika Piala Dunia U-20 Batal di Indonesia Imbas Tragedi Kanjuruhan
"Setelah kejadian ini, banyak instansi yang ingin memberikan bantuan kepada korban. Namun dengan simpang siurnya data, bagaimana bantuan itu bisa tersalurkan dengan tepat?. Jadi harus ada data yang akuntabel by name by address, yang dikeluarkan lembaga resmi," ucap dia.
Sementara itu, Sekretaris GM FKPPI Jatim, Didik Prasetiyono, menambahkan bahwa berbicara korban tidak hanya yang meninggal dunia saja. Tapi juga korban yang selamat, baik yang luka ringan, luka berat dan yang mengalami depresi atau trauma. Sebab yang datang ke stadion juga banyak dari kalangan ibu-ibu, anak-anak bahkan balita.
"Mereka yang selamat juga harus mendapat perhatian. Bagi yang sedang dirawat di rumah sakit jelas, Gubernur Jatim Bu Khofifah telah memberikan arahah akan menanggung biaya pengobatan," kata Didik.
Namun, lanjut Direktur Utama PT SIER ini, korban yang selamat juga mengalami depresi dan trauma juga harus mendapat perhatian. Harus ada yang memberikan post-trauma healing dan bantuan psikolog kepada mereka. Sebab yang mengalami depresi dan trauma juga termasuk korban.
"Trauma itu pasti meski mereka bisa selamat, tapi mungkin seumur hidup akan mengalami trauma. Keluarga yang ditinggalkan korban, ibu yang kehilangan anaknya, anak yang kehilangan orang tuanya, bisa jadi mereka akan trauma melihat kerumunan, membenci sepak bola atau gangguan psikologis lainnya. Jadi mereka harus mendapatkan pendampingan psikologi. Jangan sampai karena selamat secara fisik, mereka diabaikan," ujar Didik.
Dengan kejadian ini, lanjut Didik, GM FKPPI merasa sangat prihatin dan berduka sangat mendalam. Semoga kejadian ini bisa menjadi pembelajaran semua pihak. Bahwa tidak ada kemenangan dalam sepakbola yang seharga nyawa.
"Kami berdoa, semoga semua keluarga yang menjadi korban diberikan ketabahan, kesabaran serta kekuatan lahir dan batin. Bagi korban meninggal dunia, semoga almarhum dan almarhumah mendapat tempat mulia disisi-NYA. Amin," ucapnya.
Surabaya: Tidak adanya sinkronisasi data membuat data korban tragedi di
Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, simpang siur. Untuk itu, pemerintah didesak membentuk Pencatatan Data Terpusat terkait hal tersebut.
"Kejadian di Kanjuruhan sangat memilukan, karena memantik empati luar biasa. Tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dunia internasional. Sangat disayangkan jika data yang disampaikan berbeda-beda. Sehingga pemerintah harus membentuk pencatatan terpusat," kata Ketua Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (GM FKPPI) Jatim, Agoes Soerjanto, Senin, 3 Oktober 2022.
Agoes menyebut data yang disampaikan para pejabat dari beberapa instansi tidak sama alias simpang siur. Padahal, pejabat yang menyampaikan itu dinilai sangat kompeten untuk menjadi rujukan, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran di masyarakat.
Contohnya, data yang disampaikan Presiden
Joko Widodo yang menyebut jumlah korban sebanyak 129 orang
meninggal dunia. Jumlah ini berbeda dengan yang disampaikan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang memastikan korban meninggal 125 orang.
Beda lagi dengan Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak yang menyebut jumlah korban sebanyak 131 orang. Bahkan sebelumnya, Wagub Emil menyebut jumlah korban mencapai 174 orang, berdasarkan data yang didapatnya dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim. Namun, akhirnya dikoreksi menjadi 131 orang.
"Jumlah berbeda lagi disampaikan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Malang, yang menyebut jumlah korban meninggal dunia sebanyak 182 orang. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah korban luka-luka, baik ringan maupun berat," ucap Agoes.
Menurut Agoes, pemerintah harus segera membuat lembaga atau tim khusus yang ditunjuk menjadi rujukan data yang akan dikeluarkan. Pencatatan data terpusat ini penting agar tidak semua orang bisa menyampaikan data sesuai yang ia dapat, sehingga akhirnya data yang disampaikan berbeda satu dengan yang lainnya.
Baca:
Gibran Pasrah Jika Piala Dunia U-20 Batal di Indonesia Imbas Tragedi Kanjuruhan
"Setelah kejadian ini, banyak instansi yang ingin memberikan bantuan kepada korban. Namun dengan simpang siurnya data, bagaimana bantuan itu bisa tersalurkan dengan tepat?. Jadi harus ada data yang akuntabel
by name by address, yang dikeluarkan lembaga resmi," ucap dia.
Sementara itu, Sekretaris GM FKPPI Jatim, Didik Prasetiyono, menambahkan bahwa berbicara korban tidak hanya yang meninggal dunia saja. Tapi juga korban yang selamat, baik yang luka ringan, luka berat dan yang mengalami depresi atau trauma. Sebab yang datang ke stadion juga banyak dari kalangan ibu-ibu, anak-anak bahkan balita.
"Mereka yang selamat juga harus mendapat perhatian. Bagi yang sedang dirawat di rumah sakit jelas, Gubernur Jatim Bu Khofifah telah memberikan arahah akan menanggung biaya pengobatan," kata Didik.
Namun, lanjut Direktur Utama PT SIER ini, korban yang selamat juga mengalami depresi dan trauma juga harus mendapat perhatian. Harus ada yang memberikan post-trauma healing dan bantuan psikolog kepada mereka. Sebab yang mengalami depresi dan trauma juga termasuk korban.
"Trauma itu pasti meski mereka bisa selamat, tapi mungkin seumur hidup akan mengalami trauma. Keluarga yang ditinggalkan korban, ibu yang kehilangan anaknya, anak yang kehilangan orang tuanya, bisa jadi mereka akan trauma melihat kerumunan, membenci
sepak bola atau gangguan psikologis lainnya. Jadi mereka harus mendapatkan pendampingan psikologi. Jangan sampai karena selamat secara fisik, mereka diabaikan," ujar Didik.
Dengan kejadian ini, lanjut Didik, GM FKPPI merasa sangat prihatin dan berduka sangat mendalam. Semoga kejadian ini bisa menjadi pembelajaran semua pihak. Bahwa tidak ada kemenangan dalam sepakbola yang seharga nyawa.
"Kami berdoa, semoga semua keluarga yang menjadi korban diberikan ketabahan, kesabaran serta kekuatan lahir dan batin. Bagi korban meninggal dunia, semoga almarhum dan almarhumah mendapat tempat mulia disisi-NYA. Amin," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)