Mimika: Keputusan Ombudsman dinilai tak bisa menjadi dasar untuk pelaksana tugas (Plt) kepala daerah melakukan mutasi pejabat. Contohnya keputusan Ombudsman yang membatalkan Surat Keputusan (SK) Penggantian Jabatan oleh Bupati Mimika sebelumnya, Eltinus Omaleng.
SK itu tidak otomatis membolehkan Johannes Rettob yang saat ini menjabat sebagai Plt Bupati, melantik pejabat baru atau mutasi pejabat. Sebab Plt Bupati bukan pejabat definitif sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, yang mewajibkan Plt Bupati harus meminta izin terlebih dahulu kepada Menteri Dalam Negeri apabila ingin melakukan mutasi jabatan.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, mengatakan tugas Ombudsman menerima pengaduan atas dugaan malaadministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga membatalkan SK Bupati sebelumnya, namun itu tidak cukup memberikan kekuasaan kepada Plt Bupati untuk mengangkat pejabat baru.
"Harus tetap mendapatkan restu dari Mendagri sebagai pejabat negara yang berwenang dalam memutuskan dan memberi izin kepada Plt Bupati untuk bertindak atas nama Mendagri," jelas Karyono dalam keterangan tertulis, Rabu, 17 Juli 2024.
Apalagi, kata Karyono, dari informasi yang diterima, Kapuspen Kemendagri tidak menerima surat permohonan dari Kabupaten Mimika untuk mutasi pejabat.
"Jika ini dilakukan maka sama saja memperbaiki kesalahan malaadministrasi dengan kesalahan malaadministrasi yang baru," tegas Karyono.
Sebelumnya, Kapuspen Kemendagri Aang Witarsah Rofik mengatakan berdasarkan data persuratan, tidak ada permohonan pergantian pejabat dan persetujuan dari Direktorat Otonomi Daerah Papua.
“Berdasarkan informasi dari Pejabat Kepala BKD Kabupaten Mimika, tidak ada pergantian pejabat,” ucap Aang, Jakarta, 1 Juli 2024.
Sementara itu, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kepala daerah atau pejabat kepala daerah dilarang memutasi pejabat negara menjelang pilkada. Bahkan ada sanksi pidana bila melanggar ketentuan tersebut.
“Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta,” demikian bunyi pasal 190 Undang Undang Pilkada.
Larangan mutasi ini berlaku enam bulan, terhitung sebelum penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPU.
Pasal 71 ayat (2) Undang Undang Pilkada juga mengatur, bahwa kepala daerah dapat mengganti pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatannya, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.
Sementara itu, di Pasal 162 ayat (3) ditegaskan, bahwa kepala daerah yang ingin melakukan mutasi atau penggantian pejabat dalam kurun waktu tersebut harus memperoleh persetujuan tertulis dari menteri.
Dalam hal ini, menteri yang dimaksud adalah Menteri Dalam Negeri, sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat e Permendagri Nomor 74 Tahun 2016.
Mimika: Keputusan Ombudsman dinilai tak bisa menjadi dasar untuk pelaksana tugas (Plt)
kepala daerah melakukan mutasi pejabat. Contohnya keputusan Ombudsman yang membatalkan Surat Keputusan (SK) Penggantian Jabatan oleh Bupati Mimika sebelumnya, Eltinus Omaleng.
SK itu tidak otomatis membolehkan Johannes Rettob yang saat ini menjabat sebagai Plt Bupati, melantik pejabat baru atau mutasi pejabat. Sebab Plt Bupati bukan pejabat definitif sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, yang mewajibkan Plt Bupati harus meminta izin terlebih dahulu kepada Menteri Dalam Negeri apabila ingin melakukan mutasi jabatan.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, mengatakan tugas Ombudsman menerima pengaduan atas dugaan malaadministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga membatalkan SK Bupati sebelumnya, namun itu tidak cukup memberikan kekuasaan kepada Plt Bupati untuk mengangkat pejabat baru.
"Harus tetap mendapatkan restu dari Mendagri sebagai pejabat negara yang berwenang dalam memutuskan dan memberi izin kepada Plt Bupati untuk bertindak atas nama Mendagri," jelas Karyono dalam keterangan tertulis, Rabu, 17 Juli 2024.
Apalagi, kata Karyono, dari informasi yang diterima, Kapuspen Kemendagri tidak menerima surat permohonan dari Kabupaten Mimika untuk mutasi pejabat.
"Jika ini dilakukan maka sama saja memperbaiki kesalahan malaadministrasi dengan kesalahan malaadministrasi yang baru," tegas Karyono.
Sebelumnya, Kapuspen Kemendagri Aang Witarsah Rofik mengatakan berdasarkan data persuratan, tidak ada permohonan pergantian pejabat dan persetujuan dari Direktorat Otonomi Daerah Papua.
“Berdasarkan informasi dari Pejabat Kepala BKD Kabupaten Mimika, tidak ada pergantian pejabat,” ucap Aang, Jakarta, 1 Juli 2024.
Sementara itu, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kepala daerah atau pejabat kepala daerah dilarang memutasi pejabat negara menjelang pilkada. Bahkan ada sanksi pidana bila melanggar ketentuan tersebut.
“Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta,” demikian bunyi pasal 190 Undang Undang Pilkada.
Larangan mutasi ini berlaku enam bulan, terhitung sebelum penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPU.
Pasal 71 ayat (2) Undang Undang Pilkada juga mengatur, bahwa kepala daerah dapat mengganti pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatannya, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.
Sementara itu, di Pasal 162 ayat (3) ditegaskan, bahwa kepala daerah yang ingin melakukan mutasi atau penggantian pejabat dalam kurun waktu tersebut harus memperoleh persetujuan tertulis dari menteri.
Dalam hal ini, menteri yang dimaksud adalah Menteri Dalam Negeri, sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat e Permendagri Nomor 74 Tahun 2016.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)