Yogyakarta: Pemaksaan memakai jilbab di sekolah negeri di Yogyakarta telah berlangsung selama bertahun-tahun. Kasus di SMAN 1 Banguntapan Kabupaten Bantul, hanya satu dari sederet sekolah negeri yang melakukan pemaksaan itu.
Jauh sebelum kasus di Bantul, ada beberapa kasus yang tak terungkap ke publik.
Rini Widiastuti, orang tua siswi di Gunungkidul, mengalami pemaksaan itu beberapa kali. Bahkan sejak sang anak masuk SD pada 2015.
"Saat itu diwajibkan membeli jilbab di sekolah. Itu merupakan kode dari sekolah. Saat anak tidak memakai mendapat tekanan," kata Rini, di Yogyakarta, Jumat, 12 Agustus 2022.
Rini menyebut sang anak beberapa kali dipanggil oleh guru karena tidak memakai jilbab. Selain guru, bimbingan dan konseling (BK) sekolah juga kerap mengintervensi hingga berdampak pada mental sang anak.
Empat tahun berselang, cucu Rini yang juga mendaftar di sekolah negeri mengalami hal serupa. Sekolah mewajibkan setiap siswi untuk berjilbab. Mayoritas orang tua tak mampu memprotes kebijakan sekolah.
Rini pun sempat mengeluhkan kebijakan tersebut kepada komite sekolah. Namun, komite sekolah mengaku tak dilibatkan dalam pembuatan aturan berjilbab bagi para sisiwi.
"Kondisi lingkungan kami pedesaan. SDM berbeda dengan di kota yang pendidikannya lebih baik. Cara yang saya sampaikan tidak bisa diterima. Dianggap tak umum," kata dia.
Rini mengungkapkan lingkungan tempat tinggalnya rata-rata memakai jilbab. Ia pun sempat mengunggah keluhannya itu ke media sosial dan ditanggapi oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY. Mereka kemudian membantu mengadvokasi kebijakan itu dan sekolah meminta maaf serta merevisi aturan.
Sayangnya, tindakan yang diambil Rini tak menyelesaikan persoalan hingga ke akar. Pasalnya, salah satu anaknya masih dihadapkan pada aturan wajib berjilbab ketika diterima di SMP Negeri di Gunungkidul.
Kala itu, sang anak masih bisa bersekolah tanpa berjilbab karena kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring. Saat pembelajaran tatap muka, pada satu bulan pertama anak masih diizinkan tak mengenakan jilbab.
"Bulan kedua sudah ditegur. Berikutnya diwajibkan berjilbab," ungkap dia.
Sang anak sempat ditanyai guru mengapa tidak memakai jilbab ke sekolah. Selain ditanyai, siswi tersebut juga sempat dipanggil guru BK dengan alasan tidak memakai jilbab.
Pegiat Pendidikan di Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius (Pappirus), Listia Suprobo, mengatakan dunia pendidikan secara umum belum beranjak dari era orde baru.
Ia menyebut suara di lingkungan pendidikan yang kritis masih dianggap musuh. Sejauh ini, menurut Listua, bimbingan teknis (bimtek) yang diselenggarakan dinas pendidikan belum menyentuh masalah esensial.
"Bimtek seharusnya tak hanya masalah teknis, tapi juga pendidikan esensial tentang sikap memperlakukan peserta didik yang merdeka, bukan pribadi yang hanya diatur-atur. Sebagai pribadi punya pikiran dan perasaan," ujar Listia.
Ia menambahkan, guru di sekolah harus mendapatkan pembinaan bagaimana keyakinan di ruang publik, dalam hal ini di sekolah negeri, harus ada bentuk negosiasinya. Dinas pendidikan perlu mengembangkan pemahaman tentang hubungan agama dan negara di kalangan para pendidik.
"Kalau sekadar sanksi (terhadap guru yang memaksa memakai jilbab) tidak cukup, akan terulang kalau problem dasarnya tidak terselesaikan. Hal terpenting bagaimana pemahaman memperlakukan seseorang harus semanusiawi mungkin," tuturnya.
Kala itu, sang anak masih bisa bersekolah tanpa berjilbab karena kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring. Saat pembelajaran tatap muka, pada satu bulan pertama anak masih diizinkan tak mengenakan jilbab.
"Bulan kedua sudah ditegur. Berikutnya diwajibkan berjilbab," ungkap dia.
Sang anak sempat ditanyai guru mengapa tidak memakai jilbab ke sekolah. Selain ditanyai, siswi tersebut juga sempat dipanggil guru BK dengan alasan tidak memakai jilbab.
Pegiat Pendidikan di Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius (Pappirus), Listia Suprobo, mengatakan dunia pendidikan secara umum belum beranjak dari era orde baru.
Ia menyebut suara di lingkungan pendidikan yang kritis masih dianggap musuh. Sejauh ini, menurut Listua, bimbingan teknis (bimtek) yang diselenggarakan dinas pendidikan belum menyentuh masalah esensial.
"Bimtek seharusnya tak hanya masalah teknis, tapi juga pendidikan esensial tentang sikap memperlakukan peserta didik yang merdeka, bukan pribadi yang hanya diatur-atur. Sebagai pribadi punya pikiran dan perasaan," ujar Listia.
Ia menambahkan, guru di sekolah harus mendapatkan pembinaan bagaimana keyakinan di ruang publik, dalam hal ini di sekolah negeri, harus ada bentuk negosiasinya. Dinas pendidikan perlu mengembangkan pemahaman tentang hubungan agama dan negara di kalangan para pendidik.
"Kalau sekadar sanksi (terhadap guru yang memaksa memakai jilbab) tidak cukup, akan terulang kalau problem dasarnya tidak terselesaikan. Hal terpenting bagaimana pemahaman memperlakukan seseorang harus semanusiawi mungkin," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)