GeNose C19. Foto: Dok UGM.
GeNose C19. Foto: Dok UGM.

Akurasi GeNose C19 Sempat Diragukan, Ini Penjelasan UGM

Ahmad Mustaqim • 22 Agustus 2022 18:23
Yogyakarta: Salah satu alat deteksi covid-19 buatan Universitas Gajah Mada (UGM), GeNose C19 sempat diragukan akurasinya. Meski tarif tesnya lebih murah, hasil tes covid-19 antara GeNose dengan antigen hasilnya bisa berbeda.
 
Salah satu tim inventor GeNose, Kuwat Triyana mengatakan timnya telah memublikasikan sebagian data riset GeNose C19 sebagai bagian pertanggungjawaban ilmiah riset hilirisasi implementasi GeNose C19 sebagai alat skrining covid-19. Hasil riset itu dipublikasi di dua jurnal internasional bereputasi dan bergengsi pada 2022.
 
"Dua jurnal tersebut, adalah Artificial intelligence in Medicine (AIIM), yang merupakan jurnal Q1 dengan impact factor 7,011, dengan judul Hybrid learning method based on feature clustering and scoring for enhanced COVID-19 breath analysis by an electronic nose, terbit pada Mei 2022," ujar Kuwat dalam keterangan pers, Senin, 22 Agustus 2022.

Kedua, yakni jurnal Nature portfolio journal (npj) Digital Medicine, yang merupakan jurnal Q1 dengan impact factor 15,357, dengan judul Fast and noninvasive electronic nose for sniffing out COVID-19 based on exhaled breath-print recognition, terbit pada Agustus 2022.
 
Baca: Hasil Penelitian Perguruan Tinggi Tak Selalu Dicintai Masyarakat, Rektor UGM: Bahkan Dibunuh Bangsanya

Kuwat mengatakan dua publikasi tersebut masih merupakan tahap awal dari keseluruhan data yang saat ini dalam proses penyelesaian penulisan manuskrip, terkait dengan data hasil uji klinis dan uji validasi eksternal yang melibatkan lintas institusi.
 
"Seluruh manuskrip lanjutan tersebut nantinya akan dipublikasi di jurnal-jurnal internasional bereputasi berikutnya," ujarnya.
 
Kuwat mengungkapkan diterimanya publikasi hasil riset GeNose menunjukkan konsep sensing infeksi dengan analisis volatile organic compound (VOC) napas berbasis big data dan kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) dapat diterima dalam aplikasi klinisnya. Menurut dia, hal ini dibahas secara lengkap di manuskrip kedua.
 
"Dengan diterimanya konsep ini, tentunya di masa yang akan datang, pemanfaatan AI dan teknologi informasi menjadi sebuah revolusi dalam memanajemen penyakit baik itu infeksi maupun noninfeksi, di mana data-data yang dikumpulkan dari pasien dengan metode tertentu secara terstandarisasi dapat menjadi sumber biomarker baru yang valid, reproducible dan terjangkau," kata dia.
 
Ia menambahkan, memang diperlukan pengujian terus menerus dan pembaruan dari database serta algoritma AI untuk terus dapat meningkatkan performa diagnostik. Hal ini berkaitan dengan proses learning berbasis hybrid yang dibahas secara lengkap di manuskrip pertama.
 
"Sekali lagi, proses pengujian hasil learning secara uji diagnostik multisenter sekaligus hasil validasi eksternal akan diterbitkan di jurnal internasional bereputasi berikutnya," ucapnya.
 
Sebagaimana diketahui, pada tahun 2021 Genose C19 dipergunakan secara luas dengan menggunakan skema emergency use authorization (EUA) sebagai bagian bentuk hilirisasi dam tindakan cepat dalam upaya untuk berkontribusi mengendalikan penyebaran covid-19.
 
Sementara, Dian Kesumapramudya Nurputra, juga inventor GeNose, menjelaskan proses pengerjaan dua publikasi GeNose ini bukan dikerjakan dalam jangka waktu singkat. Pengumpulan data dan penulisan telah dilakukan sejak 2020.
 
"Proses submisi sudah sejak dilakukan sejak 'patent granted' di 2021, di mana saat itu publikasi awal dalam bentuk preprint di research square, dan setelah melalui revisi dan diskusi intensif dengan reviewer dengan jawaban rebuttal letter mencapai 40 halaman lebih, baru kemudian manuskrip riset GeNose bisa diterima," ungkapnya.
 
Di sisi lain, ia menyebut banyak para ahli, akademisi, dan masyarakat ilmiah menanyakan mengapa publikasi GeNose tidak keluar lebih dahulu, baru kemudian dilakukan hilirisasi agar tidak terjadi penolakan dan kontroversi.
 
Menurut dia, secara umum, proses hilirisasi suatu produk kesehatan dalam kondisi normal akan mengikuti alur normal di mana setelah adanya uji klinis, baru berlanjut publikasi, lalu  pendaftaran ke Dirjen Farmalkes untuk mendapatkan izin edar.
 
Namun, lanjutnya, dalam kondisi pandemi covid-19, di mana inovasi secara cepat diperlukan dan sebagaimana beberapa produk kesehatan lainnya yang muncul selama masa pandemi, seperti vaksin, obat, teknologi VTM dan lain-lain, setelah proses uji klinis, hasil uji klinis dapat diajukan langsung ke pendaftaran izin edar, sembari menunggu proses publikasi.
 
Uji klinis disebut harus dilakukan dengan evaluasi awal, izin dan pemantauan ketat oleh regulator serta izin edar pun masih bersifat emergency use authorization yang kemudian perlu diperpanjang lagi.
 
"Proses review oleh panel ahli dari berbagai universitas, kalangan industri saat pengajuan izin edar ini sebenarnya tidak berbeda dengan proses review pada saat publikasi, bahkan sama ketatnya," katanya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan