Bandung: Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar pada 2021, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau hidup bersama sebelum umur 18 tahun mencapai 10,09 persen. Dan angka ini terus mengalami penurunan setiap tahunnya.
Proporsi perkawinan anak dari BPS tersebut menyebut bahwa di Jabar pada 2019 masih 12,33 persen, pada 2020 menjadi 11,96 persen, kemudian pada 2021 sebanyak 10,09. Padahal pada tiga tahun sebelumnya, mengalami laju peningkatan, yakni pada 2016 mencapai 11,47 persen, menjadi 12,24 persen pada 2017, kemudian menjadi 13,26 persen pada 2018.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jabar, I Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka mengatakan di sisi lain, angka pernikahan anak di Jabar bisa terlihat dari angka pengajuan dispensasi perkawinan anak dari pengadilan agama.
Pada 2020, tercatat ada 8.312 pengajuan dispensasi, kemudian pada 2021 menjadi 6.794 dispensasi, lalu pada 2022 triwulan 1 baru tercatat 1.311 pengajuan dispensasi. Setiap tahun terjadi penurunan meskipun pandemi.
Pada 2021 proporsi perkawinan anak di Jabar urutan ke-19 tertinggi secara nasional yaitu 10,09 persen. Namun masih di atas rata-rata nasional yaitu 9,23 persen. Menurutnya garis besar penyebab perkawinan anak pertama adalah masalah ekonomi keluarga yang menyebabkan anak seolah menjadi beban buat orang tua. Sehingga ketika dinikahkan harapannya beban tersebut akan berkurang.
Kedua, adalah pengetahuan orang tua maupun anak yang kurang terkait bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan ketika menikah saat belum cukup usia. Ketiga adalah kepercayaan atau nilai budaya yang menyatakan bahwa lebih baik dinikahkan daripada berbuat zina. Kemudian budaya yang menyatakan jika anak perempuan tidak segera menikah akan tidak laku dan menjadi perawan tua.
"Dampak terakhir adalah globalisasi, efek dari mudahnya akses terhadap berbagai macam informasi menjadi pisau bermata dua. Hal negatifnya yaitu film-film yang memperlihatkan hanya bagian manis dari sebuah pernikahan tanpa melihat persoalan, tanggung jawab, toleransi dan lainnya," ungkapnya di Bandung, Rabu, 18 Januari 2023.
Ia mengatakan pada 2022 triwulan I jumlah dispensasi perkawinan anak di Jabar yang dikeluarkan Pengadilan Agama yaitu 1.311, dengan lima kabupaten tertinggi yaitu Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 174 kasus, Garut 134 kasus, Cirebon 134 kasus, Ciamis 119 kasus dan Indramayu 106 kasus.
DP3AKB secara terus menurus melakukan komunikasi, informasi dan edukasi, kepada masyarakat baik secara langsung maupun melalui berbagai media, seperti webinar, radio dan televisi.
"Kita juga memiliki program Stopan Jabar, yaitu gerakan bersama pencegahan perkawinan anak yang melibatkan sinergitas lintas sektoral dengan merangkul semua pihak," ujarnya.
Saat ini lanjutnya, sudah terbangun komitmen bersama untuk mencegah perkawinan anak melalui penandatanganan nota kesepakatan dengan BKKBN Perwakilan Provinsi Jabar, Kementerian Agama Provinsi Jabar dan Pengadilan Agama Jabar.
Serta penandatangan komitmen bersama dengan unsur pentahelix (pemerintah, akademisi, bisnis, lembaga masyarakat, dan media). Selain pihaknya juga melibatkan forum anak daerah untuk melakukan sosialisasi pada teman sebaya tentang bahaya perkawinan anak.
"Pencegahan perkawinan anak tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah karena pemerintah memiliki keterbatasan sumberdaya, sehingga diperlukan komitmen bersama untuk menurunkan angka perkawinan anak. Selain itu juga ini mengharuskan upaya lintas sektoral, misalnya peningkatan ekonomi mayarakat dan upaya penyaringan yang ketat terhadap konten media elektronik yang saat ini sangat mudah diakses oleh anak-anak dan remaja," tambahnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Bandung: Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar pada 2021, proporsi
perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau hidup bersama sebelum umur 18 tahun mencapai 10,09 persen. Dan angka ini terus mengalami penurunan setiap tahunnya.
Proporsi
perkawinan anak dari BPS tersebut menyebut bahwa di Jabar pada 2019 masih 12,33 persen, pada 2020 menjadi 11,96 persen, kemudian pada 2021 sebanyak 10,09. Padahal pada tiga tahun sebelumnya, mengalami laju peningkatan, yakni pada 2016 mencapai 11,47 persen, menjadi 12,24 persen pada 2017, kemudian menjadi 13,26 persen pada 2018.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jabar, I Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka mengatakan di sisi lain,
angka pernikahan anak di Jabar bisa terlihat dari angka pengajuan dispensasi perkawinan anak dari pengadilan agama.
Pada 2020, tercatat ada 8.312 pengajuan dispensasi, kemudian pada 2021 menjadi 6.794 dispensasi, lalu pada 2022 triwulan 1 baru tercatat 1.311 pengajuan dispensasi. Setiap tahun terjadi penurunan meskipun pandemi.
Pada 2021 proporsi perkawinan anak di Jabar urutan ke-19 tertinggi secara nasional yaitu 10,09 persen. Namun masih di atas rata-rata nasional yaitu 9,23 persen. Menurutnya garis besar penyebab perkawinan anak pertama adalah masalah ekonomi keluarga yang menyebabkan anak seolah menjadi beban buat orang tua. Sehingga ketika dinikahkan harapannya beban tersebut akan berkurang.
Kedua, adalah pengetahuan orang tua maupun anak yang kurang terkait bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan ketika menikah saat belum cukup usia. Ketiga adalah kepercayaan atau nilai budaya yang menyatakan bahwa lebih baik dinikahkan daripada berbuat zina. Kemudian budaya yang menyatakan jika anak perempuan tidak segera menikah akan tidak laku dan menjadi perawan tua.
"Dampak terakhir adalah globalisasi, efek dari mudahnya akses terhadap berbagai macam informasi menjadi pisau bermata dua. Hal negatifnya yaitu film-film yang memperlihatkan hanya bagian manis dari sebuah pernikahan tanpa melihat persoalan, tanggung jawab, toleransi dan lainnya," ungkapnya di Bandung, Rabu, 18 Januari 2023.
Ia mengatakan pada 2022 triwulan I jumlah dispensasi perkawinan anak di Jabar yang dikeluarkan Pengadilan Agama yaitu 1.311, dengan lima kabupaten tertinggi yaitu Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 174 kasus, Garut 134 kasus, Cirebon 134 kasus, Ciamis 119 kasus dan Indramayu 106 kasus.
DP3AKB secara terus menurus melakukan komunikasi, informasi dan edukasi, kepada masyarakat baik secara langsung maupun melalui berbagai media, seperti webinar, radio dan televisi.
"Kita juga memiliki program Stopan Jabar, yaitu gerakan bersama pencegahan perkawinan anak yang melibatkan sinergitas lintas sektoral dengan merangkul semua pihak," ujarnya.
Saat ini lanjutnya, sudah terbangun komitmen bersama untuk mencegah perkawinan anak melalui penandatanganan nota kesepakatan dengan BKKBN Perwakilan Provinsi Jabar, Kementerian Agama Provinsi Jabar dan Pengadilan Agama Jabar.
Serta penandatangan komitmen bersama dengan unsur pentahelix (pemerintah, akademisi, bisnis, lembaga masyarakat, dan media). Selain pihaknya juga melibatkan forum anak daerah untuk melakukan sosialisasi pada teman sebaya tentang bahaya perkawinan anak.
"Pencegahan perkawinan anak tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah karena pemerintah memiliki keterbatasan sumberdaya, sehingga diperlukan komitmen bersama untuk menurunkan angka perkawinan anak. Selain itu juga ini mengharuskan upaya lintas sektoral, misalnya peningkatan ekonomi mayarakat dan upaya penyaringan yang ketat terhadap konten media elektronik yang saat ini sangat mudah diakses oleh anak-anak dan remaja," tambahnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(WHS)