Presiden ke-1 Soekarno alias Bung Karno. Foto: Dokumentasi Arsip Nasional
Presiden ke-1 Soekarno alias Bung Karno. Foto: Dokumentasi Arsip Nasional

Rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya, Dapur Nasionalisme Bung Karno

Amaluddin • 12 Juni 2022 16:47

Hingga akhirnya, pada tahun 1916 gugatan dari masyarakat yang menolak penggusuran paksa itu diterima oleh pengadilan, sehingga muncul keputusan hakim, yakni muncul aturan larangan mengusir penduduk yang tinggal di lahan partikelir. 
 
Di dalam buku catatan A.P.E Korver berjudul “Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?”, tertulis setelah surat putusan dibacakan oleh hakim pengadilan Landraad setidaknya ada sekitar 4.000 orang berkumpul di taman kota yang kini menjadi bagunan Monumen Tugu Pahlawan. Ribuan orang yang diinisiasi oleh Sadikin CS serta didukung oleh Tjokroaminoto sebagai pimpinan Sarekat Islam (SI) waktu itu merayakan pesta kemenangan melawan pendudukan bangsa Belanda. 
 
“Artinya, pada tahun 1916, Soekarno pasti mengetahui adanya gerakan dan protes besar-besaran yang dilakukan oleh rakyat Surabaya secara masif kala itu. Sayangnya, peristiwa ini tidak banyak yang tahu sebagai bentuk perjuangan masyarakat melawan pendudukan Belanda, selama ini tahunya hanya gerakan 10 November 1945,” ujarnya. 

Di periode yang sama, gerakan buruh yang bekerja di industri Surabaya menguat begitu masif, bahkan mulai melakukan mogok massal dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan oleh pendatang asal Eropa/Belanda yang menduduki Kota Surabaya memandang sebelah mata orang pribumi. 
 
Selain tindakan semena-mena warga Belanda, pemicu kedua pergerakan penduduk pribumi adalah HOS Tjokroaminoto. Pada saat Sukarno tiba di Surabaya, Tjokroaminoto tengah menjadi pusat perhatian pengikut SI di Kota Pahlawan bahkan di belahan nusantara lainnya. 
 
Di mata Soekarno, sosok Tjokroaminoto adalah seorang yang dia idolakan dalam hidupnya. Seperti yang dikutip dalam buku Cindy Adam halaman 46,
 
“Pak Tjokro adalah Idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, ia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku, dia memberikan miliknya yang berharga kepadaku,” kata-kata Sukarno di dalam karya buku Cindy Adams “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
 
Di rumah Tjokroaminoto, lanjut Purnawan, insting politik Soekarno terbentuk, hal itu juga diungkap di dalam buku karya Cindy Adams. Di dalam buku yang sama, dituliskan Tjokroaminoto sendiri lah yang mengenalkan kepada Soekarno kepada para tokoh pergerakan yang hilir mudik masuk ke rumahnya saat itu. Dengan demikian, pandangan Soekarno di usia remaja sangat banyak dan kaya ilmu pengetahuan dari berbagai segi ideologi. 
 
Purnawan melanjutkan, kala itu Sukarno juga menulis soal rumah Tjokroaminoto yang menjadi dapur nasionalismenya. “Aku meresapi lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Pak Tjokro, dapur dari nasionalisme.” Bahkan, saat itu Soekarno juga sempat menuangkan ide dan gagasan yang ada di kepalanya melalui media cetak Oetoesan Hindia yang dimiliki oleh Tjokroaminoto. 
 
“Bung Karno mengakui, saat di Surabaya ia menulis tidak kurang dari 500 tulisan yang dimuat di surat kabar. Di rumah Tjokroaminoto itu pula Sukarno mengenal Alimin, Muso, Semaun dan SM Kartosuwiryo yang memiliki ideologi berbeda-beda,” katanya. 
 
Di usianya yang ke 20 tahun, Soekarno sudah matang secara politik dan ideologi, sehingga pada saat itu Soekarno menemukan ideloginya sendiri, yaitu Marhaenisme yang melambangkan kepribadian nasional. Di dalam media massa Fikiran Ra’jat tanggal 1 Juli 1932 No.1 tertulis, Marhaen adalah ideologi yang meliputi kelompok miskin Indonesia, baik buruh atau bukan, termasuk petani miskin yang tidak bekerja untuk siapapun melainkan hanya untuk sehari-harinya.
 
“Secara detail, di dalam buku Adams 2014: 90 tertulis, Marhaenisme merupakan Sosialisme Indonesia, gabungan dari Nasionalisme, Agama, dan Marxisme yang ditambah dengan Gotong Royong,” ujarnya. 
 
Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno bersama dengan dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr. Iskaq Tjokrohadikusumo, dan Mr. Sunaryo, mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia pada tahun 1928 berganti menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI saat itu. dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan gagasan kemerdekaan sehingga pemerintah mengeluarkan surat penangkapan tokoh-tokoh partai pada tanggal 24 Desember 1929.
 
Sukarno kemudian diadili pada 18 Agustus 1930, dengan pidato pembelaan berjudul Indonesia Menggugat yang isinya banyak menguraikan kekejaman imperialisme dan kapitalisme. Menurut Sukarno kolonialisme dan imperialisme merupakan gaya baru akan muncul dalam bentuk bantuan modal asing dengan bunga jangka panjang yang sangat tinggi.
 
Hal Ini merupakan transformasi baru dari kapitalisme, yang mana semulanya hanya berdagang, tetapi lambat laun bertujuan untuk menguasai suatu negara. Lembaga-lembaga donor ini menurut Sukarno merupakan cara untuk memperkuat cengkraman barat terhadap negara bekas jajahan seperti dalam buku Jati 2013:172.
 
Hingga di pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan lima prinsip dasar negara, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan yang berkebudayaan. 
 
“Di saat itu Bung Karno menggali nilai-niai Pancasila. Tujuannya adalah untuk menggalang negara baru merdeka untuk saling membantu negara yang masih terjajah, selain itu ia tidak ingin Indonesia tercerai-berai dan ingin bangsanya mandiri, berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan,” katanya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan