Jakarta: Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PP-GPII) mengecam tindakan bom bunuh diri di Kepolisian Sektor Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat. Aksi itu menimbulkan puluhan korban dan satu di antaranya meninggal dunia akibat bom bunuh diri.
Sebelas orang korban ledakan yang meliputi sepuluh anggota polisi dan satu warga sipil yang sedang melintas di sekitar lokasi ledakan. Nahas, ada satu anggota polisi korban meninggal dunia bernama Ajun Inspektur Satu Sofyan.
"Kami berdoa semoga korban meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran. Serta untuk Korban yang luka-luka semoga diberikan kekuatan fisik dan mental serta kesehatan kembali,“ Kata Ketua Pimpinan Pusat GPII Ismail menyempaikan bahwa PP-GPII, di Jakarta, 10 Desember 2022.
Baca: Keluarga Korban Bom Astanaanyar Dapat Santunan
Ismail juga mengatakan aksi bom bunuh diri adalah kejahatan kemanusiaan yang biadab. Terorisme adalah ideologi kejahatan dan kekerasan. Terorisme tidak ada kaitannya dengan agama mana pun. Karena faham terorisme tidak memiliki agama.
"Tidak ada agama yang mengajarkan teror dan kekerasan, apalagi membunuh orang lain yang tidak bersalah,”ungkapnya.
Tebar ketakutan melalui aksi bom bunuh diri, kata Ismail berulang kali dilakukan oleh para penjahat terorisme melalui pesan di lokasi kejadian. Salah satu diantaranya adalah markas kepolisian. Lokasi tersebut merupakan lokasi yang dianggap strategis untuk menebarkan ketakutan.
Sejarah mencatat, ada sejumlah aksi terorisme di negeri ini yang menjadikan markas kepolisian sebagai objek serangan. Pada Mei 2018 terjadi serangan bom bunuh diri di Markas Polrestabes Surabaya.
Baca: Cegah Aksi Teror, Gubernur Jabar: Program Anti Radikalisme Telah Diajarkan di SMA dan SMK
Pelaku bom bunuh diri di Astanaanyar, Bandung yakni Agus Sujatno alias Agus Muslim diketahui merupakan mantan Napiter. Pernah dihukum penjara lantaran terlibat aksi bom panci di Cicendo. Agus keluar dari penjara Nusakambangan beberapa bulan lalu dalam keadaan “merah”.
Status “merah” ini digunakan untuk mengkategorikan narapidana yang masih berpandangan belum NKRI dan belum mau menjalani proses deradikalisasi. Apakah ini menandakan bahwa proses deradikaliasi itu gagal? Tentu tidak dan sangat terburu-buru mengatakan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan itu gagal.
Ismail menjelaskan bahwa tidak semua mantan Napiter kembali ke jaringan terorisme pasca keluar dari penjara.
Tidak sedikit juga mantan Napiter justru kembali ke masyarakat umum dan menjadi warga yang normal alias tidak lagi terlibat jaringan terorisme kembali.
"Bahkan, nama-nama dalam dunia terorisme seperti Ali Imran, Ali Fauzi dan lain-lain pun bisa disadarkan dengan program deradikalisasi dan bahkan kini berbalik arah menjadi mitra pemerintah dalam memberantas terorisme dan menjadi tokoh perubahan di kampung tempat tinggal dan sekitarnya"ujar Ismail.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 dan Perpres No. 12 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PerpresNo. 46 tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
BNPT RI memiliki tugas dan salah satu programnya adalah deradikalisasi yang memiliki beberapa tahapan. Seperti yang ada di dalam lapas terlebih dahulu dengan identifikasi, rehabilitasi, re-edukasi, dan re-integrasi. Sedangkan, upaya pencegahan yang ada di luar lapas, dilakukan identifikasi, pembinaan keagamaan, wawasan kebangsaan, dan kewirausahaan.
"Impact program deradikalisasi semestinya tidak hanya bergantung ketika Napiter tersebut berada dalam lapas, namun juga di luar lapas. Di tahapan ini, keberhasilan program deradikalisasi dan mitigasi virus radikalisme terorisme sangat bergantung pada kerjasama dan sinergisitas dari seluruh lapisan masyarakat dengan pendekatan hulu ke hilir,"papar dia.
Ismail melihat peran dari keluarga, lingkungan terdekat, dan masyarakat pada umumnya memiliki peranan yang strategis dalam menjaga mereka agar tidak kembali kepada pemikiran radikal yang menghalalkan kekerasan.
"Keluarga idealnya menjadi bagian anggota masyarakat terkecil yang kuat memberikan dukungan positif bagi para mantan Napiter yang telah keluar dari penjara" jelasnya.
Keluarga dan masyarakat kiranya bisa mendukung, baik secara materil maupun moril bagi kehidupan Napiter pasca menjalani hukuman.
Tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan langsung secara aktif dari masyarakat untuk mau menerima kembali mantan Napiter kembali ke lingkungannya.
"Penerimaan sosial (social acceptance) ini sangat penting sebagai modal awal mantan napiter untuk membaur dan berinteraksi menjalani hari-hari baru pasca keluar dari penjara,"ucapnya.
Ismail juga menambahkan PP-GPII mendorong sinergisitas antar lembaga tetap solid dan bergotong-royong dalam penanggulangan radikalisme terorisme dari hulu ke hilir. Seperti kolaborasi antara BNPT RI, Polri, BIN, BAIS TNI dan lainnya.
"BNPT perlu lebih banyak melibatkan banyak pihak untuk bergotong royong mencegah aksi-aksi serupa" pungkasnya.
Jakarta: Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PP-GPII) mengecam tindakan bom bunuh diri di Kepolisian Sektor Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat. Aksi itu menimbulkan puluhan korban dan satu di antaranya meninggal dunia akibat bom bunuh diri.
Sebelas orang korban ledakan yang meliputi sepuluh anggota polisi dan satu warga sipil yang sedang melintas di sekitar lokasi ledakan. Nahas, ada satu anggota polisi korban meninggal dunia bernama Ajun Inspektur Satu Sofyan.
"Kami berdoa semoga korban meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran. Serta untuk Korban yang luka-luka semoga diberikan kekuatan fisik dan mental serta kesehatan kembali,“ Kata Ketua Pimpinan Pusat GPII Ismail menyempaikan bahwa PP-GPII, di Jakarta, 10 Desember 2022.
Baca:
Keluarga Korban Bom Astanaanyar Dapat Santunan
Ismail juga mengatakan aksi bom bunuh diri adalah kejahatan kemanusiaan yang biadab. Terorisme adalah ideologi kejahatan dan kekerasan. Terorisme tidak ada kaitannya dengan agama mana pun. Karena faham terorisme tidak memiliki agama.
"Tidak ada agama yang mengajarkan teror dan kekerasan, apalagi membunuh orang lain yang tidak bersalah,”ungkapnya.
Tebar ketakutan melalui aksi bom bunuh diri, kata Ismail berulang kali dilakukan oleh para penjahat terorisme melalui pesan di lokasi kejadian. Salah satu diantaranya adalah markas kepolisian. Lokasi tersebut merupakan lokasi yang dianggap strategis untuk menebarkan ketakutan.
Sejarah mencatat, ada sejumlah aksi terorisme di negeri ini yang menjadikan markas kepolisian sebagai objek serangan. Pada Mei 2018 terjadi serangan bom bunuh diri di Markas Polrestabes Surabaya.
Baca:
Cegah Aksi Teror, Gubernur Jabar: Program Anti Radikalisme Telah Diajarkan di SMA dan SMK
Pelaku bom bunuh diri di Astanaanyar, Bandung yakni Agus Sujatno alias Agus Muslim diketahui merupakan mantan Napiter. Pernah dihukum penjara lantaran terlibat aksi bom panci di Cicendo. Agus keluar dari penjara Nusakambangan beberapa bulan lalu dalam keadaan “merah”.
Status “merah” ini digunakan untuk mengkategorikan narapidana yang masih berpandangan belum NKRI dan belum mau menjalani proses deradikalisasi. Apakah ini menandakan bahwa proses deradikaliasi itu gagal? Tentu tidak dan sangat terburu-buru mengatakan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan itu gagal.
Ismail menjelaskan bahwa tidak semua mantan Napiter kembali ke jaringan terorisme pasca keluar dari penjara.
Tidak sedikit juga mantan Napiter justru kembali ke masyarakat umum dan menjadi warga yang normal alias tidak lagi terlibat jaringan terorisme kembali.
"Bahkan, nama-nama dalam dunia terorisme seperti Ali Imran, Ali Fauzi dan lain-lain pun bisa disadarkan dengan program deradikalisasi dan bahkan kini berbalik arah menjadi mitra pemerintah dalam memberantas terorisme dan menjadi tokoh perubahan di kampung tempat tinggal dan sekitarnya"ujar Ismail.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 dan Perpres No. 12 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PerpresNo. 46 tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
BNPT RI memiliki tugas dan salah satu programnya adalah deradikalisasi yang memiliki beberapa tahapan. Seperti yang ada di dalam lapas terlebih dahulu dengan identifikasi, rehabilitasi, re-edukasi, dan re-integrasi. Sedangkan, upaya pencegahan yang ada di luar lapas, dilakukan identifikasi, pembinaan keagamaan, wawasan kebangsaan, dan kewirausahaan.
"Impact program deradikalisasi semestinya tidak hanya bergantung ketika Napiter tersebut berada dalam lapas, namun juga di luar lapas. Di tahapan ini, keberhasilan program deradikalisasi dan mitigasi virus radikalisme terorisme sangat bergantung pada kerjasama dan sinergisitas dari seluruh lapisan masyarakat dengan pendekatan hulu ke hilir,"papar dia.
Ismail melihat peran dari keluarga, lingkungan terdekat, dan masyarakat pada umumnya memiliki peranan yang strategis dalam menjaga mereka agar tidak kembali kepada pemikiran radikal yang menghalalkan kekerasan.
"Keluarga idealnya menjadi bagian anggota masyarakat terkecil yang kuat memberikan dukungan positif bagi para mantan Napiter yang telah keluar dari penjara" jelasnya.
Keluarga dan masyarakat kiranya bisa mendukung, baik secara materil maupun moril bagi kehidupan Napiter pasca menjalani hukuman.
Tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan langsung secara aktif dari masyarakat untuk mau menerima kembali mantan Napiter kembali ke lingkungannya.
"Penerimaan sosial (social acceptance) ini sangat penting sebagai modal awal mantan napiter untuk membaur dan berinteraksi menjalani hari-hari baru pasca keluar dari penjara,"ucapnya.
Ismail juga menambahkan PP-GPII mendorong sinergisitas antar lembaga tetap solid dan bergotong-royong dalam penanggulangan radikalisme terorisme dari hulu ke hilir. Seperti kolaborasi antara BNPT RI, Polri, BIN, BAIS TNI dan lainnya.
"BNPT perlu lebih banyak melibatkan banyak pihak untuk bergotong royong mencegah aksi-aksi serupa" pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)