Jayapura: Penderita stunting di Papua masih tinggi, yakni sekitar 30 persen. Salah satu penyebab adalah minimnya informasi tentang pemberian asupan gizi dan pola hidup yang berkualitas.
"Angka stunting di Papua masih tinggi dari target nasional di bawah 10 persen. Tahun ini, kami telah menyiapkan program penanganan stunting di 22 kabupaten. Misalnya pemberian makanan tambahan secara rutin bagi ibu dan anak," kata Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dr. Silwanus Sumule, Selasa, 11 Februari 2020.
Silwanus berharap penanganan stunting tak hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan, tapi juga melibatkan Kementerian Keuangan dan Bappenas. Dengan begitu penyediaan anggaran dan program untuk penanganan stunting bisa menjangkau seluruh wilayah dan tepat sasaran.
"Diperlukan sinergi antara kementerian dan Pemda untuk penanganan stunting. Dengan cara inilah dapat tercipta sebuah solusi untuk penanganan stunting. Misalnya, sosialisasi pola asuh anak, penyediaan anggaran yang cukup dan sarana transportasi untuk menjangkau seluruh wilayah baik di perkotaan maupun pedalaman," ujarnya.
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Papua, Sarles Brabar, mengatakan pihaknya juga mengemban program untuk pengentasan stunting karena minimnya asupan gizi untuk 22 kabupaten di Papua. Di antaranya Lanny Jaya, Tolikara, Paniai, Dogiyai, Asmat, dan Mamberamo Raya.
"Kami bersinergi dengan Dinas Kesehatan setempat untuk memberikan sosialisasi dan makanan tambahan yang bergizi bagi anak," kata Sarles.
Salah satu upaya BKKBN dengan sosialisasi tentang pemberian asupan makanan bergizi selama 1.000 kehidupan awal anak dan pengaturan jarak kelahiran. Selain itu, ditemukan banyak pasangan usia subur yang telah berkeluarga, namun belum mengetahui penggunaan alat KB modern.
"Sebanyak 12,3 persen dari 247 pasangan usia subur sama sekali tidak mengetahui alat KB dan cara penggunaannya dan sebanyak 87 persen pasangan usia subur di Papua hanya mengetahui satu alat KB," ujarnya.
Dari hasil temuan di lapangan tersebut, kata Sarles, masih terdapat ibu yang melahirkan anak setiap tahun. Bahkan, imbuh dia, remaja berusia sekitar 15 hingga 16 tahun telah menikah.
"Idealnya jarak kelahiran antara anak minimal dua hingga tiga tahun. Tujuannya agar orang tua dapat mengasuh setiap anaknya secara berkualitas. Kami menyiapkan anggaran sebesar Rp1 miliar untuk sosialisasi penanganan stunting di 22 kabupaten," tandasnya.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/3NOXRJ0b" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jayapura: Penderita
stunting di Papua masih tinggi, yakni sekitar 30 persen. Salah satu penyebab adalah minimnya informasi tentang pemberian asupan gizi dan pola hidup yang berkualitas.
"Angka
stunting di Papua masih tinggi dari target nasional di bawah 10 persen. Tahun ini, kami telah menyiapkan program penanganan
stunting di 22 kabupaten. Misalnya pemberian makanan tambahan secara rutin bagi ibu dan anak," kata Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dr. Silwanus Sumule, Selasa, 11 Februari 2020.
Silwanus berharap penanganan
stunting tak hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan, tapi juga melibatkan Kementerian Keuangan dan Bappenas. Dengan begitu penyediaan anggaran dan program untuk penanganan
stunting bisa menjangkau seluruh wilayah dan tepat sasaran.
"Diperlukan sinergi antara kementerian dan Pemda untuk penanganan
stunting. Dengan cara inilah dapat tercipta sebuah solusi untuk penanganan
stunting. Misalnya, sosialisasi pola asuh anak, penyediaan anggaran yang cukup dan sarana transportasi untuk menjangkau seluruh wilayah baik di perkotaan maupun pedalaman," ujarnya.
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Papua, Sarles Brabar, mengatakan pihaknya juga mengemban program untuk pengentasan
stunting karena minimnya asupan gizi untuk 22 kabupaten di Papua. Di antaranya Lanny Jaya, Tolikara, Paniai, Dogiyai, Asmat, dan Mamberamo Raya.
"Kami bersinergi dengan Dinas Kesehatan setempat untuk memberikan sosialisasi dan makanan tambahan yang bergizi bagi anak," kata Sarles.
Salah satu upaya BKKBN dengan sosialisasi tentang pemberian asupan makanan bergizi selama 1.000 kehidupan awal anak dan pengaturan jarak kelahiran. Selain itu, ditemukan banyak pasangan usia subur yang telah berkeluarga, namun belum mengetahui penggunaan alat KB modern.
"Sebanyak 12,3 persen dari 247 pasangan usia subur sama sekali tidak mengetahui alat KB dan cara penggunaannya dan sebanyak 87 persen pasangan usia subur di Papua hanya mengetahui satu alat KB," ujarnya.
Dari hasil temuan di lapangan tersebut, kata Sarles, masih terdapat ibu yang melahirkan anak setiap tahun. Bahkan, imbuh dia, remaja berusia sekitar 15 hingga 16 tahun telah menikah.
"Idealnya jarak kelahiran antara anak minimal dua hingga tiga tahun. Tujuannya agar orang tua dapat mengasuh setiap anaknya secara berkualitas. Kami menyiapkan anggaran sebesar Rp1 miliar untuk sosialisasi penanganan
stunting di 22 kabupaten," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(LDS)