Presiden Joko Widodo (Jokowi). Foto: Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Foto: Sekretariat Presiden

Usulan Pemakzulan Presiden Harus Punya Basis Legal Konstitusional

Whisnu Mardiansyah • 18 Januari 2024 14:56
Makassar: Respons atas usulan pemakzulan Presiden Jokowi yang mencuat setelah sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mendatangi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Pemakzulan Presiden harus memenuhi beberapa unsur dengan berbasis konstutusional.
 
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid berpendapat, pemakzulan atau "impeachment" terhadap Presiden harus memenuhi anasir-anasir absolut yang bersifat terukur atau "measurable".
 
Artinya kata dia, Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.  Maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mutlak tingkat keterbuktiannya "attainable".

"Artinya di luar "article of impeachment" sebagaimana rumusan konstitusi itu, maka tidak cukup alasan atau berdasar untuk malakukan pemakzulan presiden," kata Fahri di Makassar, Kamis, 18 Januari 2024.
 
Baca: Wacana Pemakzulan Jokowi Tergantung Political Will DPR

Fahri berpendapat bahwa manuver yang dilakukan oleh petisi 100 itu sifatnya politis, dan lebih berorientasi pada upaya mendelegitimasi Pemilu 2024. Menurutnya, ini sangat destruktif dalam upaya membangun demokrasi konstitusional saat ini. Sebab secara konstitusional diskursus terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka.
 
Fahri menguraikan bahwa lembaga pemakzulan Presiden telah diatur secara limitatif dalam konstitusi (UUD NRI 1945), seperti ketentuan norma Pasal 7A dan 7B. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
 
"Ketentuan terkait proses tersebut kemudian diajukan pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, ketika proses telah beralih pada MK, maka Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK," jelasnya.
 
Fahri melanjutkan apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
 
Langkah selanjutnya adalah MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut. Dan Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
 
"Setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR, dengan demikian merupakan sesuatu yang sangat mustahil dari aspek kaidah hukum tata negara untuk dilakukan proses pemakzulan presiden dalam ketiadaan sangkaan yang spesifik secara hukum," tutup Fahri.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(WHS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan