medcom.id, Manado: Organisasi Angkatan Darat Sulawesi Utara menilai pencabutan 14 pasal pada Peratuan Menteri Perhubungan Nomor 26 tahun 2017 sudah tepat. Sebab, beberapa pasal yang dicabut dinilai bertentangan dengan perundangan lainnya.
Ketua Organda Sulut, Jan Ratulangi, mencontohkan, Pasal 19 ayat (2) huruf f PM 26 tahun 2017 yang mengatur batas tarif taksi berbasis aplikasi daring (online). Aturan ini, dia anggap bertentangan dengan UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Sedari awal saya menilai sudah ada kekeliruan oleh pemerintah. Jadi saya mendukung jika poin tersebut dicabut," kata Jan, di Manado, Rabu, 23 Agustus 2017.
Dalam Permen, tarif batas bawah Rp3.500 dan atas Rp6.000 di wilayah I (Sumatera, Jawa dan Bali). Sedangkan di wilayah II (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua)tarif batas bawah Rp3.700 dan atas Rp6.500. Namun, pasal ini menjadi salah satu yang direkomendasikan untuk dicabut oleh MA.
Keputusan pembatalan 14 pasal PM 26/2017 termaktub dalam putusan bernomor 37/P/HUM/2017. Perkara diputuskan pada 20 Juni 2017 dan diumumkan pada 10 Agustus 2017 di situs resmi MA. (Baca: Putusan MA Bikin Biaya Taksi Online Kembali Murah)
Jan sepakat pencabutan poin penerapan batas tarif berdasarkan alasan menghambat pelaku ekonomi. Sebab, pelaku usaha bakal kesulitan menyesuaikan diri dengan ketentuan pemerintah dan kondisi di daerah.
"Seharusnya batas tarif diserahkan kepada operatornya. Dan tinggal diawasi oleh Organda di daerah serta pemda tentunya," ujarnya.
Selain itu, Jan juga setuju dengan pencabutan Pasal 27 huruf a yang menyebut memiliki paling sedikit lima kendaraan yang dibuktikan dengan STNK atas nama badan hukum dan surat tanda bukti lulus uji Kir.
"Karena kalau berbicara taksi online, mereka bukan kendaraan umum. Melainkan kendaraan berpelat hitam, jadi berbeda aturannya. Lain lagi kalau pelat kuning," jelasnya.
Pada Pasal 66 ayat 4 yang menyebut STNK atas nama badan hukum namun hak kepemilikan kendaraan tetap menjadi hak pribadi perorangan, menurut Jan, harus dikaji terlebih dahulu. Sebab, kata dia, penggunaan STNK atas nama badan hukum akan berlaku pada kendaraan yang bernaung di bawah perusahaan. Sementara untuk kendaraan bernaung di bawah koperasi, STNK-nya bisa atas nama pribadi.
Baca: Sopir Taksi Makin Kalah
"Ini harus dijelaskan betul. Karena salah juga kalau dicabut badan hukukumnya. Karena kalau kendaraan berada di bawah naungan perseroan terbatas (PT), kan yang dipakai nama perusahaan," ujarnya.
Meski mendukung, Jan mengaku perlu mempelajari lebih dalam lagi soal penacabutan 14 poin dalam aturan tersebut.
Di sisi lain, Jan mengkritik sikap lambat pemerintah daerah dalam menangani persoalan ini. "Banyak yang tidak paham termasuk pihak dinas perhubungan sendiri," kritik dia.
medcom.id, Manado: Organisasi Angkatan Darat Sulawesi Utara menilai pencabutan 14 pasal pada Peratuan Menteri Perhubungan Nomor 26 tahun 2017 sudah tepat. Sebab, beberapa pasal yang dicabut dinilai bertentangan dengan perundangan lainnya.
Ketua Organda Sulut, Jan Ratulangi, mencontohkan, Pasal 19 ayat (2) huruf f PM 26 tahun 2017 yang mengatur batas tarif taksi berbasis aplikasi daring (online). Aturan ini, dia anggap bertentangan dengan UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Sedari awal saya menilai sudah ada kekeliruan oleh pemerintah. Jadi saya mendukung jika poin tersebut dicabut," kata Jan, di Manado, Rabu, 23 Agustus 2017.
Dalam Permen, tarif batas bawah Rp3.500 dan atas Rp6.000 di wilayah I (Sumatera, Jawa dan Bali). Sedangkan di wilayah II (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua)tarif batas bawah Rp3.700 dan atas Rp6.500. Namun, pasal ini menjadi salah satu yang direkomendasikan untuk dicabut oleh MA.
Keputusan pembatalan 14 pasal PM 26/2017 termaktub dalam putusan bernomor 37/P/HUM/2017. Perkara diputuskan pada 20 Juni 2017 dan diumumkan pada 10 Agustus 2017 di situs resmi MA. (
Baca: Putusan MA Bikin Biaya Taksi Online Kembali Murah)
Jan sepakat pencabutan poin penerapan batas tarif berdasarkan alasan menghambat pelaku ekonomi. Sebab, pelaku usaha bakal kesulitan menyesuaikan diri dengan ketentuan pemerintah dan kondisi di daerah.
"Seharusnya batas tarif diserahkan kepada operatornya. Dan tinggal diawasi oleh Organda di daerah serta pemda tentunya," ujarnya.
Selain itu, Jan juga setuju dengan pencabutan Pasal 27 huruf a yang menyebut memiliki paling sedikit lima kendaraan yang dibuktikan dengan STNK atas nama badan hukum dan surat tanda bukti lulus uji Kir.
"Karena kalau berbicara taksi online, mereka bukan kendaraan umum. Melainkan kendaraan berpelat hitam, jadi berbeda aturannya. Lain lagi kalau pelat kuning," jelasnya.
Pada Pasal 66 ayat 4 yang menyebut STNK atas nama badan hukum namun hak kepemilikan kendaraan tetap menjadi hak pribadi perorangan, menurut Jan, harus dikaji terlebih dahulu. Sebab, kata dia, penggunaan STNK atas nama badan hukum akan berlaku pada kendaraan yang bernaung di bawah perusahaan. Sementara untuk kendaraan bernaung di bawah koperasi, STNK-nya bisa atas nama pribadi.
Baca: Sopir Taksi Makin Kalah
"Ini harus dijelaskan betul. Karena salah juga kalau dicabut badan hukukumnya. Karena kalau kendaraan berada di bawah naungan perseroan terbatas (PT), kan yang dipakai nama perusahaan," ujarnya.
Meski mendukung, Jan mengaku perlu mempelajari lebih dalam lagi soal penacabutan 14 poin dalam aturan tersebut.
Di sisi lain, Jan mengkritik sikap lambat pemerintah daerah dalam menangani persoalan ini. "Banyak yang tidak paham termasuk pihak dinas perhubungan sendiri," kritik dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAN)