ilustrasi Medcom.id
ilustrasi Medcom.id

Penyakit Leptospirosis di Kulon Progo Selalu Memakan Korban Sejak 2012

Ahmad Mustaqim • 07 Maret 2023 18:44
Kulon Progo: Kasus leptospirosis setiap tahun terjadi di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Catatan Dinas Kesehatan setempat, sejak 2012 penyakit dari air seni hewan yang terinfeksi itu selalu memakan korban jiwa.
 
Dimulai pada 2012 ada 13 kasus dengan 2 di antaranya meninggal. Kemudian, 2013 ada 26 kasus, 7 meninggal; 2014 ada 69 kasus, 6 meninggal; 2015 ada 31 kasus, 1 meninggal; 2016 ada 30 kasus, 3 meninggal; dan 2017 ada 74 kasus, 9 meninggal.
 
Baca: Warga Solo Diminta Lebih Waspada dengan Kasus Difteri

Lalu 2018 ada 23 kasus, 5 meninggal; 2019 ada 29 kasus, 2 meninggal; 2020 ada 34 kasus, 7 meninggal; 2021 ada 11 kasus, 1 meninggal; dan 2022 ada 16 kasus, 3 meninggal. Terbaru, 2023 hingga awal Maret sudah terjadi 21 kasus dengan satu di antaranya meninggal.
 
Data tersebut menunjukkan ada siklus tiga tahunan yang menunjukkan angka kasus terjadi lonjakan, yakni pada 2014, 2017, dan 2020. Meskipun lonjakan kasus pada siklus tersebut tidak sama.

"Tahun ini harapannnya jumlah kasus tidak tinggi, tapi sampai awal Maret ini sudah terjadi 21 kasus," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kulon Progo, Rina Nuryati, dihubungi, Selasa, 7 Maret 2023.
 
Rina mengatakan kasus leptospirosis ini sulit dideteksi meski jajaran petugas kesehatan di level kecamatan sudah turun ke wilayah. Alhasil, ia menyebut persentase kematian kasus leptospirosis itu mencapai 18 persen pada 2022 lalu.
 
"Kalau kami evaluasi, ternyata ada keterlambatan diagnosis awal. Kami sudah mengumpulkan dokter, kami (lakukan) riset lagi, kami tanya kesulitan terkait leptospirosis ini," je;asnya.
 
Ia mengatakan tidak ada gejala awal yang khas terhadap penderita penyakit ini. Rina mengatakan indikasi awal pada umumnya demam kemudian hingga kesulitan buang air kecil. Namun fase menuju proses itu berlangsung cepat.
 
Rina mengatakan kondisi itu menjadi kewaspadaan yang mesti dilakukan masyarakat dan jajarannya. Meskipun, sudah ada alat yang bisa dipakai untuk mendeteksi penyakit yang berasal dari air seni tikus itu.
 
"Tapi ketersediaan alat deteksi ini sangat terbatas. Tahun ini kami belum pengadaan dan ketersediaannya tinggal sedikit di beberapa faskes," ungkapnya.
 
Ia mengungkapkan alat deteksi tersebut sebenarnya sangat membantu untuk pengerjaan diagnosis penyakit leptospirosis. Pihaknya akan berupaya melakukan pengadaan tahun ini.
 
Di sisi lain, ia meyakini sudah banyak masyarakat, khususnya petani yang memahami ancaman penyakit itu. Namun, masyarakat terkadang masih abai, khususnya ketika sedang mengalami luka kecil dan memaksa pergi ke sawah. Luka kecil tersebut kemudian menjalani jalan penularan bakteri dari air seni tikus.
 
"Masyarakat kalau ada luka besar atau terasa sakit baru tak pergi ke sawah. Kalau luka kecil tidak tahu atau tidak dirasa tetap pergi ke sawah. Selama luka itu belum sembuh, kumannya bisa masuk," bebernya.
 
Ia mengungkapkan jajaran petugas kesehatan di level Puskesmas terus mengupayakan edukasi ke masyarakat yang bekerja di sawah. Di sisi lain, jajaran petugas kesehatan di level kecamatan juga berkoordinasi dengan OPD terkait, khususnya yang wilayahnya terdapat banyak kasus.
 
"Tapi untuk level kabupaten baru (pembahasan secara) garis besar karena kami belum nemu upaya yang mesti kita sarankan," ujarnya.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan