Surakarta: Salah satu tradisi yang dilakukan orang Indonesia, khususnya yang tinggal di Jawa saat Lebaran adalah melakukan sungkeman. Prosesinya anak-anak akan bersimpuh dan meminta maaf kepada orang tua.
Lantas, dari mana awal mula tradisi ini berasal. Menurut keterangan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KPGH) Puger, sang Pengageng Kasentanan Keraton Surakarta, tradisi ini memang berasal dari Keraton Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Pura Mangkunegaran.
“Hal ini dibuktikan pada penyebutannya dalam Kakawin Hariwangsa dengan kalimat ‘sumungkem ing tilam’ atau menelungkup di tikar, dan penyebutan pada masa kerajaan lainnya,” terang KPGH Puger.
Hal yang sama juga diungkap situs puromangkunegaran.com. Di sini, disebutkan tradisi sungkeman saat Lebaran dimulai pada saat KGPAA Mangkunegara I memerintah pada 1757 sampai 1795. Kala itu, setelah melakukan salat Idulfitri, Mangkunegara I berkumpul bersama dengan keluarga, kerabat, abdi dalem, serta masyarakat. Pada saat itulah, sungkeman dilakukan.
Baca: Mentokke Tradisi Kenduri Masyarakat Pesisir Jawa Usai Salat Id
Pada masa itu juga, mereka yang melakukan sungkeman memakai pakaian adat Jawa dengan lengkap. Raja yang duduk di singgasana menerima permintaan maaf yang diucapkan dengan kalimat Jawa halus dan baku.
Tradisi sungkeman ternyata pernah dianggap sebagai simbol perlawanan di masa kolonial. Bahkan, Soekarno dan dr Radjiman Widyodiningrat sempat akan ditangkap Belanda gara-gara ingin melakukan tradisi sungkeman di Gedung Hapibraya, Singosaren, pada Idulfitri 1930. dr Radjiman adalah dokter pribadi dari Raja Keraton Surakarta di masa itu, Pakubuwono X.
Sang raja pun menjelaskan kepada Belanda kalau sungkeman adalah tradisi saling memaafkan usai Idulfitri, bukannya aksi penggalangan massa. Menariknya, sejak saat itu pula, Keraton Solo meneruskan tradisi membuka open house bagi masyarakat yang pengin melakukan sungkeman.
Pendapat berbeda justru diungkap oleh budayawan dari UGM Yogyakarta Umar Khayam. Meski sudah ada klaim dari Keraton Solo, dia menyebut sejak kapan tradisi sungkeman dilakukan di Nusantara belum bisa dipastikan karena bukti sejarahnya juga masih minim. Meski begitu, dia menyebut tradisi ini sebagai akulturasi budaya Jawa dengan Islam.
Surakarta: Salah satu
tradisi yang dilakukan orang Indonesia, khususnya yang tinggal di Jawa saat Lebaran adalah melakukan
sungkeman. Prosesinya anak-anak akan bersimpuh dan meminta maaf kepada orang tua.
Lantas, dari mana awal mula tradisi ini berasal. Menurut keterangan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KPGH) Puger, sang Pengageng Kasentanan Keraton Surakarta, tradisi ini memang berasal dari Keraton Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Pura Mangkunegaran.
“Hal ini dibuktikan pada penyebutannya dalam Kakawin Hariwangsa dengan kalimat
‘sumungkem ing tilam’ atau menelungkup di tikar, dan penyebutan pada masa kerajaan lainnya,” terang KPGH Puger.
Hal yang sama juga diungkap situs puromangkunegaran.com. Di sini, disebutkan tradisi
sungkeman saat Lebaran dimulai pada saat KGPAA Mangkunegara I memerintah pada 1757 sampai 1795. Kala itu, setelah melakukan salat Idulfitri, Mangkunegara I berkumpul bersama dengan keluarga, kerabat, abdi dalem, serta masyarakat. Pada saat itulah, sungkeman dilakukan.
Baca: Mentokke Tradisi Kenduri Masyarakat Pesisir Jawa Usai Salat Id
Pada masa itu juga, mereka yang melakukan
sungkeman memakai pakaian adat Jawa dengan lengkap. Raja yang duduk di singgasana menerima permintaan maaf yang diucapkan dengan kalimat Jawa halus dan baku.
Tradisi sungkeman ternyata pernah dianggap sebagai simbol perlawanan di masa kolonial. Bahkan, Soekarno dan dr Radjiman Widyodiningrat sempat akan ditangkap Belanda gara-gara ingin melakukan tradisi
sungkeman di Gedung Hapibraya, Singosaren, pada Idulfitri 1930. dr Radjiman adalah dokter pribadi dari Raja Keraton Surakarta di masa itu, Pakubuwono X.
Sang raja pun menjelaskan kepada Belanda kalau
sungkeman adalah tradisi saling memaafkan usai Idulfitri, bukannya aksi penggalangan massa. Menariknya, sejak saat itu pula, Keraton Solo meneruskan tradisi membuka
open house bagi masyarakat yang pengin melakukan
sungkeman.
Pendapat berbeda justru diungkap oleh budayawan dari UGM Yogyakarta Umar Khayam. Meski sudah ada klaim dari Keraton Solo, dia menyebut sejak kapan tradisi
sungkeman dilakukan di Nusantara belum bisa dipastikan karena bukti sejarahnya juga masih minim. Meski begitu, dia menyebut tradisi ini sebagai akulturasi budaya Jawa dengan Islam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)