Gedung Kejaksaan Agung. MI
Gedung Kejaksaan Agung. MI

Wewenang Diperkuat, Pakar: Pengusutan Korupsi Kejaksaan Unggul

Al Abrar • 22 Januari 2024 14:03
Yogyakarta: Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Muzzakir menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) memenangi kompetisi pemberantasan tindak pidana khusus korupsi dibanding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
 
Hal ini disampaikan Muzzakir, menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi penghapusan kewenangan Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
 
“KPK kalah berkompetisi. Perkara-perkara besar ditangani oleh Jaksa.  KPK lebih suka menangani yang OTT-OTT (Operasi Tangkap Tangan) itu,” kata Muzzakir.

Dari kondisi yang ada sekarang, Muzzakir tidak sepakat jika kewenangan kejaksaan mengusut korupsi dihilangkan. “Kecuali KPK-nya solid, valid, dan bisa dipercaya,” ungkapnya.
 
Baca: Transaksi Janggal Rp349 Triliun di Kemenkeu Disebut Tak Terkait Korupsi Jalur Kereta Besitang-Langsa

Muzakir kemudian menyinggung sejumlah perkara yang dialami pimpinan KPK yang melanggar kode etik tetapi tidak ditindak. “Komisioner melakukan gratifikasi di Lombok untuk melihat balap dibiarkan begitu saja. Sementara lembaga lain ditindak. Itulah kenapa KPK sekarang ini kurang dapat dipercaya,” kata dia.
 
Di sisi lain, Kejaksaan justru membuktikan diri mampu menangani dan mengungkap perkara-perkara besar. Kejaksaan kata Muzakir juga punya organ hingga ke daerah-daerah, seperti juga polisi. KPK tidak punya.
 
Belum lagi jika dikaitkan dengan pengembalian kerugian negara. “Jika KPK menangani perkara, misalnya korupsi di Jogja. Sidang sampai dua puluh kali. Sekali sidang yang datang 5 hingga 10 orang. Berapa biaya negaranya?. Tapi berapa uang negara yang dikembalikan?” ujar Muzzakir.

Sejarah Kewenangan Kejaksaan

Muzzakir memaparkan sejarah pemberian kewenangan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana khusus, terutama korupsi. Dijelaskannya, sejak terbitnya KUHAP pada 1981 ada kebijakan untuk mengalihkan semua penyidikan kepada kepolisian. Kecuali tindak pidana khusus korupsi, yang tetap ditangani kejaksaan. 
 
“Saat itu kepolisian dianggap belum cukup mampu untuk menangani karena perlu keahlian khusus. Saat itu diberi jeda waktu dua tahun,” jelas Muzzakir.
 
Kemudian ada perubahan UU Kejaksaan. Inti pokoknya kejaksaan masih diberikan kewenangan untuk menyidik perkara korupsi. Ketika masa transisi habis, seharusnya kejaksaan menyerahkan kewenangan itu kepada penyidik. 
 
“Tetapi jaksa mendapatkan kewenangan baru dari UU Kejaksaan yang memberi kewenangan untuk memeriksa perkara korupsi,” kata Muzzakir.
 
Ketika awal pembentukan KPK, menurut Muzzakir, kewenangan penyidikan korupsinya bersyarat. Di antaranya pelaku korupsi adalah aparat penyelenggara negara, nilai kerugian negaranya di atas Rp1 miliar, dan kasusnya menjadi perhatian masyarakat. 
 
“Dan KPK tidak melakukan penyidikan secara full tetapi take over perkara yang ditangani kejaksaan atau kepolisian, yang dalam proses penyelidikan korupsi tersebut melakukan tindak perkara korupsi. Jadi KPK tidak punya kewenangan melakukan penyidikan secara open seperti sekarang,” papar Muzzakir.
 
Namun dalam perkembangannya, lanjut Muzzakir, KPK membuka proses penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Jika semula kewenangannya dibatasi tidak melakukan penyelidikan dan penyidikan, tapi hanya mengawasi proses penegakkan hukum yang dilakukan penegak hukum.
 
“Dan begitu dibuka (KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan sendiri), dalam satu semester 60 ribu perkara yang diserahkan KPK. Karena ketidakmampuan KPK melakukan penyelidikan-penyidikan (dalam jumlah besar) lahirlah istilah OTT,” ungkap Muzzakir.
 
Menurut Muzzakir, KPK kalah profesional dengan kepolisian maupun kejaksaan. Hal ini karena kejaksaan maupun kepolisian memiliki pengalaman yang lebih lama.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan