Ilustrasi--okasi tanah longsor di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. ANTARA/HO-Humas Pemprov Jabar
Ilustrasi--okasi tanah longsor di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. ANTARA/HO-Humas Pemprov Jabar

500 Desa di Jabar Rawan Bencana Hidrometeorologis

Antara • 04 Februari 2021 22:12
Bandung: Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat, menyatakan sebanyak 500 desa masuk ke dalam kategori potensi bencana hidrometeorologis atau bencana yang dipengaruhi atau diakibatkan oleh cuaca dengan tingkat kerawanan yang tinggi.
 
"Jadi ke-500 desa itu tersebar di hampir di seluruh wilayah kabupaten/kota di Jabar. Hampir ada di seluruh kota/kabupaten namun yang paling banyak di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Bogor," kata Kepala Pelaksana Harian BPBD Provinsi Jawa Barat, Dani Ramdan, Kamis, 4 Februari 2021.
 
Dani menuturkan di bagian timur Jabar, daerah yang masuk 500 desa rawan bencana hidrometeorologis ialah Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu. Sedangkan di bagian utara ialah Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, dan Bekasi.

Baca juga: Sempat Kesulitan Ditangani RS, Korban Kecelakaan di Kota Tangerang Tewas
 
Menurut dia untuk mengantisipasi dampak dari bencana tersebut, BPBD Jabar telah bergerak untuk membuat desa tangguh bencana dan hingga akhir Januari 2021 sedikitnya 250 desa telah dibekali konsep dan peralatan untuk menghadapi bencana.
 
"Sejauh ini sudah kita bangun baru 250-an, setengahnya. Kita akan buat percepatan untuk 250 desa yang lain dengan program fast track, kalau standar Destana BNPB itu ada 16 indikator, untuk kondisi saat ini minimal ada tiga indikator dulu, ada satgas, ada peralatan yang stand by, dan anggaran yang tersedia," kata dia.
 
Selain itu ada pula indikator pelatihan bagi masyarakat paling tidak tokoh dan relawan pemuda. Indikator lainnya, ialah harus membuat peta rawan bencana di level desa, membuat jalur evakuasi, termasuk rambu dan tempat evakuasi.
 
"Kalau Destana reguler selengkap itu. Sekarang tiga indikator satgas, peralatan, dan anggaran. Ada anggaran apa pun bisa dilakukan, nah anggaran bencana yang biasanya tidak tersedia, makanya beberapa bupati membuat Perbup, terkait anggaran untuk bencana dalam APBDes," ujar Dani.
 
Ia mengatakan mitigasi sederhana bisa dilakukan di tingkat desa, salah satunya dengan memeriksa saluran air untuk memastikan tak ada yang tersumbat atau memeriksa tebing-tebing apakah ada keretakan yang berpotensi longsor.
 
 

Pihaknya menekankan kembali mengenai periode golden time untuk meminimalisasi terjadinya korban jiwa dalam sebuah kejadian bencana alam.
 
Periode yang dimaksud ialah nol sampai tiga puluh menit terjadinya bencana dan 34 persen faktor keselamatan dari bencana bersumber dari kesiapsiagaan individu yang dibentuk oleh pengetahuan dan kemampuan yang bersangkutan dalam melakukan evakuasi.
 
Faktor lainnya, lanjut dia, ialah diberikan oleh pertolongan orang-orang terdekat, yakni anggota keluarga yang memiliki kemampuan dan rencana kontijensi yang dilatihkan jika terjadi bencana.
 
"Jadi faktor ini menyumbang 31 persen. Kemudian 17 persen dari pertolongan komunitas baik RT, RW atau lingkungan setempat. Peran BPBD, Tim SAR dan petugas lainnya hanya menyumbang 1,8 persen, karena pada saat golden time mereka tidak berada persis di tempat bencana," jelasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan