Surabaya: Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Surabaya menolak keras praktik politik dinasti jelang Pemilu 2024. Putusan Mahakamah Konstitusi (MK) yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka dinilai telah mencederai iklim demokrasi di Tanah Air.
"Mestinya kekuasaan itu dipakai untuk memberikan kebermanfaatan untuk rakyat bukan untuk kepentingan keluarganya," ujar Wakil Ketua BEM Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Hafizh Mohammad Ismi Prakoso, Selasa, 21 November 2023.
Hal senada juga disampaikan Ketua BEM Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya Abdul Adim. Ia menolak keras adanya permainan atau intrik untuk mengakali konstitusi.
"Ini bukan hanya persoalan politik dinasti semata, namun putusan MK 90 yang pada prosesnya oleh MKMK diputuskan ada pelanggaran etik sudah mencederai demokrasi," tutur Adim.
Adim juga menyayangkan, karpet merah yang diberikan kepada Gibran Rakabuming Raka untuk berkontestasi di Pemilu 2024. "Dengan memanfaatkan privelege-nya, sangat disayangkan jika majunya Gibran terbukti cacat etika," paparnya.
Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, kategori dinasti politik pernah diatur dalam UU Nomor 8 tahun 2015 yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
"Dinasti politik ini dulu pernah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015, di situ disebutkan bahwa dinasti politik itu haram hukumnya," ungkap Ray.
Ray menjelaskan, yang disebut dinasti politik dalam UU Nomor 8 tahun 2015 adalah memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, anak, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar.
Tidak hanya itu, lanjut Ray Rangkuti, syarat lain dikatakan dinasti politik adalah apabila salah satu dari cabang keluarga tersebut sedang menjabat di jabatan yang bersifat elected official baik gubernur, bupati, atau wali kota.
"Oleh karena itu, apa yang dipraktekkan oleh Pak Jokowi sekarang ini per definisi ini adalah contoh paling sempurna dari apa yang disebut dinasti politik itu," tegasnya.
Ia menambahkan, meskipun undang-undang nomor 8 tahun 2015 tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun secara ide dan moral kategori dinasti politik pernah diatur karena dinasti politik tidak ada untungnya bagi bangsa ini.
"Jika ada yang mengatakan dinasti politik untuk kepentingan bangsa dan negara itu omong kosong, tidak ada buktinya secara faktual. Yang jelas dinasti politik itu hanya akan membawa kepentingan keluarganya," jelasnya.
Surabaya:
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Surabaya menolak keras praktik politik dinasti jelang Pemilu 2024. Putusan Mahakamah Konstitusi (MK) yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka dinilai telah mencederai iklim demokrasi di Tanah Air.
"Mestinya kekuasaan itu dipakai untuk memberikan kebermanfaatan untuk rakyat bukan untuk kepentingan keluarganya," ujar Wakil Ketua BEM Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Hafizh Mohammad Ismi Prakoso, Selasa, 21 November 2023.
Hal senada juga disampaikan Ketua BEM
Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya Abdul Adim. Ia menolak keras adanya permainan atau intrik untuk mengakali konstitusi.
"Ini bukan hanya persoalan politik dinasti semata, namun
putusan MK 90 yang pada prosesnya oleh MKMK diputuskan ada pelanggaran etik sudah mencederai demokrasi," tutur Adim.
Adim juga menyayangkan, karpet merah yang diberikan kepada Gibran Rakabuming Raka untuk berkontestasi di Pemilu 2024. "Dengan memanfaatkan
privelege-nya, sangat disayangkan jika majunya Gibran terbukti cacat etika," paparnya.
Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, kategori dinasti politik pernah diatur dalam UU Nomor 8 tahun 2015 yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
"Dinasti politik ini dulu pernah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015, di situ disebutkan bahwa dinasti politik itu haram hukumnya," ungkap Ray.
Ray menjelaskan, yang disebut dinasti politik dalam UU Nomor 8 tahun 2015 adalah memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, anak, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar.
Tidak hanya itu, lanjut Ray Rangkuti, syarat lain dikatakan dinasti politik adalah apabila salah satu dari cabang keluarga tersebut sedang menjabat di jabatan yang bersifat
elected official baik gubernur, bupati, atau wali kota.
"Oleh karena itu, apa yang dipraktekkan oleh Pak Jokowi sekarang ini per definisi ini adalah contoh paling sempurna dari apa yang disebut dinasti politik itu," tegasnya.
Ia menambahkan, meskipun undang-undang nomor 8 tahun 2015 tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun secara ide dan moral kategori dinasti politik pernah diatur karena dinasti politik tidak ada untungnya bagi bangsa ini.
"Jika ada yang mengatakan dinasti politik untuk kepentingan bangsa dan negara itu omong kosong, tidak ada buktinya secara faktual. Yang jelas dinasti politik itu hanya akan membawa kepentingan keluarganya," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)