LBH Makassar yang juga pendamping atau kuasa hukum dari korban radupaksa terhadap tiga orang anak, di Jalan Nikel, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu, 9 Oktober 2021. Muhammad Syawaluddin/Medcom.id
LBH Makassar yang juga pendamping atau kuasa hukum dari korban radupaksa terhadap tiga orang anak, di Jalan Nikel, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu, 9 Oktober 2021. Muhammad Syawaluddin/Medcom.id

LBH Makassar Temukan Kejanggalan Penyelidikan Kasus Bapak Rudapaksa 3 Anak di Luwu Timur

Muhammad Syawaluddin • 10 Oktober 2021 11:00
Makassar: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar membeberkan kejanggalan dalam penanganan kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur. LBH makassar menilai pemberhentian tersebut prematur bahkan cacat prosedur. 
 
Direktur LBH Makassar, Azis Dumpa, mengatakan kejanggalan proses penanganan kasus tersebut berawal dari pengambilan keterangan terhadap anak korban. Di mana pelapor yang juga ibu korban dilarang untuk mendampingi dan membaca berita acara. 
 
"Proses tersebut juga tidak melibatkan pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lainnya," katanya, di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu, 9 Oktober 2021.

Hal itu katanya melanggar atau menyalahi ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam pasal 23 menyatakan bahwa, “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan/atau anak saksi, atau pekerja sosial.”
 
"Belum lagi pengambilan keterangan para anak korban hanya dilakukan satu kali dan mengakibatkan keterangan para anak korban tidak tergali utuh dalam berita acara interogasi pada berkas perkara," jelasnya. 
 
Kemudian keterangan berita acara terhadap anak yang dianggap tidak sesuai perundang-undangan berlaku dan hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur serta asesmen Puspaga Lutim. Petunjuk tersebut pada pokoknya menyatakan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor. 
 
Baca: Fakta-fakta Seputar Kasus Bapak Perkosa 3 Anak Kandung di Luwu Timur
 
Keduanya berasal dari proses yang berpihak pada terlapor. Salah satunya ditunjukkan dari dipertemukannya para anak korban dengan terlapor ketika pertama kali pelapor meminta perlindungan di P2TP2A Luwu Timur. Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan karena pertemanan dengan terlapor sebagai sesama ASN. 
 
"Metodologinya dipertanyakan. Kalau metodenya di depan orang lain atau dengan tiba-tiba ketemu tanpa keterangan bagaimana. Padahal harusnya korban terlapor dijauhkan ini malah dipertemukan," jelasnya. 
 
Selanjutnya, kata Haedir dalam berkas perkara penyelidikan yang dipaparkan pada gelar perkara khusus di Polda Sulsel terdapat dokumen yang semestinya didalami penyidik tapi diabaikan. Salah satunya Visum et Psychiatricum (VeP) terhadap para anak korban, yang menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang mereka alami. 
 
Belum lagi bukti foto alat kelamin dan anus para anak korban yang memerah dan nampak janggal, yang diambil pada Oktober 2019. Pada sekitar waktu tersebut para anak korban terus mengeluhkan sakit pada area tersebut kepada pelapor.
 
Pelapor bahkan melakukan pemeriksaaan terhadap para anak korban di Puskesmas Malili dan mendapatkan surat rujukan untuk berobat yang dikeluarkan oleh dokter lain, tertulis hasil diagnosis bahwa para anak korban mengalami kerusakan pada bagian anus dan vagina, serta child abuse.
 
Malah penyidik melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelapor yang tidak lain adalah ibu korban sebagai upaya mendelegitimasi kesaksian pelapor. Pemeriksaan tersebut dilakukan tanpa dasar yang kuat serta tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada pelapor. 
 
"Kami menilai hal ini justru menunjukkan ketidakberpihakan penyidik Polres Luwu Timur," ujarnya. 
 
Haedir menambahkan bukti-bukti dan argumentasi hukum tersebut telah kami sampaikan dalam gelar perkara khusus atas permintaan kami pada 6 Maret 2020 di Polda Sulsel. Namun hasilnya, seluruh bukti dan argumentasi mereka tidak dipertimbangkan oleh Polda Sulsel.
 
Sehingga, pada 14 April 2020 Polda Sulsel mengeluarkan Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pengawasan Penyidikan (SP2HP2) dengan nomor: B/ 338/ IV/ RES.7.5/ 2020/ Ditreskrimum. Surat tersebut pada pokoknya memberitahukan bahwa proses penyelidikan terhadap perkara a quo dihentikan penyelidikannya karena tidak ditemukan dua alat bukti yang cukup.
 
"Dan memberikan rekomendasi kepada penyidik Satreskrim Polres Luwu Timur agar menghentikan proses penyelidikan dan melengkapi administrasinya," ujarnya.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan