Bandung: Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kota Bandung, Jawa Barat, menyebut masalah terkait pakan menjadi penyebab harga daging ayam belum turun. Sementara harga cabai masih tinggi karena pasokan yang kurang.
"Salah satu faktor penyebab kenaikan harga daging ayam karena harga pakan yang naik, kemudian permintaan yang meningkat. Sementara cabai karena pasokan terganggu sedangkan permintaan juga meningkat," kata Kepala Disdagin Kota Bandung, Elly Wasliah, di Bandung, Senin malam, 3 Juli 2023.
Elly menjelaskan hingga saat ini sudah seminggu lebih harga daging ayam dan cabai masih belum beranjak turun, di mana harga daging ayam di pasar tradisional mencapai Rp40.000-Rp42.000/kg, sedangkan harga cabai rawit Rp40.000-R50.000/kg. Lalu harga cabai tanjung Rp80.000-Rp100.000/kg di pasar tradisional.
Namun kata Elly harga daging ayam ada perbedaan di toko ritel yang jauh lebih murah dibandingkan pasar tradisional.
"Kemarin hari Minggu saya memantau ke salah satu toko ritel. Harga daging ayam dibanderol Rp29.900. Itu beratnya 0,8 kg atau 0,9 kg. Kalau per kilogramnya jatuh di harga Rp33.000," jelasnya.
Terkait faktor penyebab belum turunnya harga daging ayam dan cabai di pasaran, menurut Kepala Bidang Distribusi dan Perdagangan Pengawasan Kemetrologian Disdagin Kota Bandung Meiwan Kartiwa karena permintaan yang meningkat imbas dari Iduladha.
"Termasuk untuk cabai pun permintaannya meningkat. Cabai merah tanjung sering dipakai untuk masak besar, apalagi di Hari Raya Idul Adha," ungkap Meiwan.
Ia juga menjelaskan alasan perbedaan harga daging ayam antara pasar tradisional dengan toko ritel. Menurutnya, di pasar tradisional rata-rata menjual daging ayam per kilogram. Sementara di toko ritel tidak per kilogram.
Faktor lainnya, kata dia, adalah rantai pasok di mana toko ritel mendapatkan ayam yang sudah dipotong dari distributor langsung dan tinggal dijual, sedangkan di pasar tradisional alurnya lebih panjang.
"Biasanya kurang dari 1 kg, seperti 0,8 kg atau 0,9 kg beratnya, dan rantai pasoknya pertama mereka dapat dari peternak, kemudian dari distributor. Di pasar ada bandar lagi, dari bandar baru ke pengecer. Dari distributor ke bandar pasti ambil untung lagi. Makanya bisa terjadi perbedaan," ujarnya.
Bandung: Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin)
Kota Bandung, Jawa Barat, menyebut masalah terkait pakan menjadi penyebab harga
daging ayam belum turun. Sementara harga cabai masih tinggi karena pasokan yang kurang.
"Salah satu faktor penyebab kenaikan harga daging ayam karena harga pakan yang naik, kemudian permintaan yang meningkat. Sementara cabai karena pasokan terganggu sedangkan permintaan juga meningkat," kata Kepala Disdagin Kota Bandung, Elly Wasliah, di Bandung, Senin malam, 3 Juli 2023.
Elly menjelaskan hingga saat ini sudah seminggu lebih harga daging
ayam dan cabai masih belum beranjak turun, di mana harga daging ayam di pasar tradisional mencapai Rp40.000-Rp42.000/kg, sedangkan harga cabai rawit Rp40.000-R50.000/kg. Lalu harga cabai tanjung Rp80.000-Rp100.000/kg di pasar tradisional.
Namun kata Elly harga daging ayam ada perbedaan di toko ritel yang jauh lebih murah dibandingkan pasar tradisional.
"Kemarin hari Minggu saya memantau ke salah satu toko ritel. Harga daging ayam dibanderol Rp29.900. Itu beratnya 0,8 kg atau 0,9 kg. Kalau per kilogramnya jatuh di harga Rp33.000," jelasnya.
Terkait faktor penyebab belum turunnya harga daging ayam dan cabai di pasaran, menurut Kepala Bidang Distribusi dan Perdagangan Pengawasan Kemetrologian Disdagin Kota Bandung Meiwan Kartiwa karena permintaan yang meningkat imbas dari Iduladha.
"Termasuk untuk cabai pun permintaannya meningkat. Cabai merah tanjung sering dipakai untuk masak besar, apalagi di Hari Raya Idul Adha," ungkap Meiwan.
Ia juga menjelaskan alasan perbedaan harga daging ayam antara pasar tradisional dengan toko ritel. Menurutnya, di pasar tradisional rata-rata menjual daging ayam per kilogram. Sementara di toko ritel tidak per kilogram.
Faktor lainnya, kata dia, adalah rantai pasok di mana toko ritel mendapatkan ayam yang sudah dipotong dari distributor langsung dan tinggal dijual, sedangkan di pasar tradisional alurnya lebih panjang.
"Biasanya kurang dari 1 kg, seperti 0,8 kg atau 0,9 kg beratnya, dan rantai pasoknya pertama mereka dapat dari peternak, kemudian dari distributor. Di pasar ada bandar lagi, dari bandar baru ke pengecer. Dari distributor ke bandar pasti ambil untung lagi. Makanya bisa terjadi perbedaan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)