Melansir CNN, amandemen ini memberikan kewenangan lebih besar kepada pengadilan Islam untuk mengatur masalah keluarga seperti pernikahan, perceraian, dan warisan.
Hal ini dianggap melemahkan Hukum Status Pribadi 1959 yang sebelumnya menetapkan usia minimum pernikahan di Irak pada 18 tahun dalam sebagian besar kasus.
Perubahan ini membuka jalan bagi pernikahan anak perempuan yang berusia sembilan tahun berdasarkan interpretasi hukum Islam dari mazhab Ja’fari, yang diikuti oleh banyak otoritas agama Syiah di Irak.
"Langkah ini akan membawa dampak bencana pada hak-hak perempuan dan anak perempuan," ujar Intisar al-Mayali, aktivis hak asasi manusia dan anggota Liga Perempuan Irak.
Dia menambahkan bahwa amandemen ini melanggar hak dasar anak-anak untuk hidup sebagai anak-anak dan mengancam perlindungan hukum mereka dalam kasus perceraian, hak asuh, dan warisan.
Protes besar terjadi di Tahrir Square, Baghdad, sejak Agustus 2024, dengan para aktivis dan kelompok hak asasi manusia menolak keras rancangan undang-undang ini.
Mereka mengecam amandemen tersebut sebagai langkah mundur yang merusak upaya reformasi hak-hak perempuan di Irak.
Meskipun demikian, parlemen tetap mengesahkan amandemen ini dalam sesi yang diwarnai kekacauan. Beberapa anggota parlemen memprotes proses voting, dengan sebagian mengklaim bahwa sesi tersebut tidak memenuhi kuorum hukum yang diperlukan.
Menurut seorang pejabat parlemen yang tidak disebutkan namanya, beberapa undang-undang kontroversial, termasuk undang-undang amnesti umum dan restitusi tanah untuk wilayah Kurdi, digabungkan dalam satu sesi voting.
Raid al-Maliki, seorang anggota parlemen independen, menyatakan, "Kami mendukung penuh undang-undang ini, dan tidak ada masalah dengan substansinya. Namun, digabungnya tiga undang-undang dalam satu voting bisa memicu banding hukum di Pengadilan Federal." Melansir CNN, hal ini menjadi alasan utama keberatan beberapa anggota parlemen.
Alia Nassif, anggota komite hukum parlemen, sesi voting dilakukan tanpa jumlah anggota parlemen minimum yang disyaratkan untuk pengesahan undang-undang.
Dia bersama beberapa anggota parlemen lainnya berencana membawa kasus ini ke Pengadilan Federal untuk dibatalkan.
"Ini adalah pelanggaran hukum dan penghinaan terhadap prinsip demokrasi," tegas Nassif dalam pernyataan resminya seperti dilaporkan oleh The Guardian.
Namun, Mohamed Anouz, anggota parlemen dari blok Syiah konservatif, menegaskan bahwa versi terbaru undang-undang ini masih menetapkan usia minimum pernikahan pada 18 tahun, atau 15 tahun dengan persetujuan wali dan hakim.
"Tujuannya adalah memberikan fleksibilitas bagi komunitas Syiah dan Sunni untuk memilih hukum yang sesuai dengan keyakinan mereka," ujar Anouz kepada AFP.
Pendukung amandemen, yang sebagian besar berasal dari kelompok konservatif Syiah, berpendapat bahwa perubahan ini diperlukan untuk menyelaraskan hukum Irak dengan prinsip-prinsip Islam dan mengurangi pengaruh budaya Barat.
Namun, para kritikus menegaskan bahwa hukum ini tidak hanya melanggar hak-hak anak tetapi juga menempatkan anak perempuan pada risiko eksploitasi dan kekerasan.
Seorang aktivis dari kelompok feminis Koalisi 188 menyebut, "Kami menerima laporan bahwa undang-undang ini telah digunakan untuk mengancam hak perempuan, termasuk hak alimony dan hak asuh." Aktivis lainnya,
Benin Elias, menyatakan bahwa amandemen ini merupakan simbol "kemunduran moral" dalam politik Irak modern.
Baca Juga:
Sargon dari Akkad: Penguasa dan Kaisar Pertama dalam Sejarah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News