Asap hitam dari serangan Israel di Rafah, Gaza, 2 Februari 2024. (SAID KHATIB / AFP)
Asap hitam dari serangan Israel di Rafah, Gaza, 2 Februari 2024. (SAID KHATIB / AFP)

Serangan Mematikan Hantam Rafah Jelang Gencatan Senjata di Gaza

Willy Haryono • 03 Februari 2024 15:03
Gaza: Serangan mematikan dilaporkan menghantam kota Rafah di area perbatasan Jalur Gaza pada Sabtu pagi, 3 Februari 2024.
 
Kota Rafah, yang dijuluki sebagai "pressure cooker keputusasaan" oleh PBB, menjadi sorotan di saat mediator internasional menyiapkan dorongan baru untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata tentatif antara Israel dan kelompok pejuang Palestina Hamas.
 
Ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi telah melarikan diri ke selatan menuju Rafah sejak pecahnya perang. Bekas kota berpenduduk 200.000 jiwa itu kini menjadi rumah bagi lebih dari separuh populasi Gaza yang berjumlah lebih dari dua juta jiwa, kata perwakilan WHO pada Jumat kemarin.

Badan kemanusiaan PBB, OCHA, mengatakan bahwa pihaknya sangat prihatin dengan meningkatnya permusuhan di dekat Khan Younis, yang telah mendorong semakin banyak orang pergi ke selatan dalam beberapa hari terakhir.
 
"Sebagian besar tinggal di bangunan darurat, tenda atau di tempat terbuka," kata juru bicara OCHA Jens Laerke dalam penjelasannya dari Jenewa.
 
"Rafah adalah pressure cooker keputusasaan, dan kami takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya," sambung dia, mengutip dari laman Gulf Today.
 
Seorang jurnalis AFP di kota tersebut mendengar ledakan dahsyat tak lama setelah tengah malam pada hari Sabtu. Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas kemudian melaporkan 14 orang tewas dalam dua serangan di sana.
 
Pihak kementerian mengatakan total lebih dari 100 orang tewas di seluruh wilayah dalam semalam.
 
Abdulkarim Misbah, salah satu dari banyak orang yang mencari perlindungan di Rafah, mengatakan bahwa dirinya pertama kali meninggalkan rumah di kamp pengungsi Jabalia utara menuju Khan Younis. Namun selang beberapa waktu, dirinya terusir kembali akibat konflik.
 
"Kami lolos pekan lalu dari kematian di Khan Younis tanpa membawa apa pun. Kami tidak menemukan tempat tinggal. Kami tidur di jalanan di dua malam pertama. Wanita dan anak-anak tidur di masjid," kata ayah berusia 32 tahun itu.
 
Keluarga tersebut kemudian menerima tenda sumbangan, yang didirikan tepat di samping perbatasan Mesir. "Keempat anak saya menggigil kedinginan. Mereka selalu merasa sakit dan tidak enak badan," ucap Misbah.
 
Badai musim dingin dan hujan deras melanda Gaza pada hari Jumat, dengan beberapa orang mengenakan pakaian hazmat sisa dari pandemi Covid-19 sebagai perlindungan dari cuaca buruk.
 
Baca juga:  WHO: Lebih dari 100.000 Warga Gaza Terluka, Hilang atau Tewas
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan