Sebuah kereta api dalam skema proyek infrastruktur Tiongkok terlihat di Ebute Metta, Lagos, Nigeria, 16 Maret 2021. (PIUS UTOMI EKPEI / AFP)
Sebuah kereta api dalam skema proyek infrastruktur Tiongkok terlihat di Ebute Metta, Lagos, Nigeria, 16 Maret 2021. (PIUS UTOMI EKPEI / AFP)

Belt and Road Tiongkok Tingkatkan Infrastruktur Sekaligus Utang di Afrika

Willy Haryono • 17 Oktober 2023 14:06
Nairobi: Belt and Road Initiative (BRI), sebuah proyek Pemerintah Tiongkok bernilai miliaran dolar yang telah berlangsung selama satu dekade, melibatkan sekitar 150 negara, terutama di Afrika. Meski BRI telah memfasilitasi pembangunan jalan raya, kereta api, dan infrastruktur di banyak negara di benua tersebut, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai meningkatnya beban utang.
 
Standard Gauge Railway (SGR) di Kenya, yang diresmikan enam tahun lalu, disebut Tiongkok sebagai keberhasilan besar karena secara signifikan mengurangi waktu tempur antar kota. Sebelumnya, perjalanan dari Mombasa ke Nairobi memakan waktu hingga 10 jam, namun kini hanya lima hingga enam jam. Para penumpang SGR, khususnya pelancong bisnis, mengapresiasi kenyamanan yang ditawarkan kereta ini.
 
Meski penumpang menghargai efisiensi transportasi, beberapa dari mereka menyatakan ketidaknyamanan dengan tempat duduk kelas ekonomi. Meski demikian, mereka menekankan keselamatan SGR sebagai moda transportasi yang baik dan memuji pemandangan menakjubkan selama perjalanan, termasuk pemandangan satwa liar seperti antelop, gajah, dan kuda zebra.

Kenya mendanai pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan kota pelabuhan Mombasa ke Nairobi dan Nairobi ke Naivasha dengan meminjam sekitar USD5 miliar dari Tiongkok. Jalur kereta api ini adalah bagian dari agenda kebijakan luar negeri ambisius Presiden Tiongkok Xi Jinping, yang bertujuan membangun infrastruktur global, perdagangan, dan jaringan telekomunikasi, dengan tujuan khusus menghubungkan Kenya dengan negara tetangga, termasuk Uganda, Rwanda, dan Sudan Selatan.
 
Ekonom Kenya, Victor Kimosop, mengakui manfaat proyek BRI, terutama dalam hal transportasi kargo dan barang. Namun, ia menyoroti bidang-bidang potensial untuk diperbaiki, seperti syarat pembayaran dan model kompensasi. Kimosop menyarankan agar jangka waktu pembayaran, antara 20 hingga 30 tahun, dinilai terlalu ambisius dan mungkin memerlukan pertimbangan ulang. Selain itu, ia menunjukkan bahwa model kompensasi dapat mengakibatkan biaya pembangunan yang tinggi dan kerentanan terhadap korupsi.
 
Selama tahap konstruksi, para kritikus menyatakan kekhawatirannya mengenai potensi dampak SGR terhadap satwa liar, terutama saat jalur kereta api melintasi Taman Nasional Nairobi, sehingga menimbulkan masalah konservasi lingkungan.
 
Wakil Presiden Kenya Rigathi Gachagua mengumumkan rencana kunjungan Presiden William Ruto mendatang ke Tiongkok, termasuk permintaan pinjaman tambahan sebesar USD1 miliar untuk menyelesaikan proyek pembangunan jalan yang terhenti dan memperpanjang masa jatuh tempo pinjaman yang ada.

Negara-Negara Afrika dan Skema BRI

Negara-negara Afrika dipandang sebagai mitra alami dalam BRI Tiongkok, terutama karena pertumbuhan populasi mereka dan mendesaknya kebutuhan akan pembangunan infrastruktur. Permintaan Afrika akan jalan raya, kereta api, dan pelabuhan sejalan dengan keahlian dan sumber daya Tiongkok. Selain itu, Afrika menawarkan sumber daya penting, seperti tembaga dan kobalt, yang penting bagi sektor manufaktur Tiongkok.
 
Negara-negara seperti Etiopia dan Zambia telah menerima proyek infrastruktur besar-besaran yang dibangun oleh Tiongkok. Namun, Zambia kesulitan mengelola beban utang yang diakibatkan proyek-proyek tersebut, dan menjadi negara pertama yang mengalami gagal bayar (default) selama pandemi Covid-19. Presiden Zambia Hakainde Hichilema berupaya merestrukturisasi pinjaman negara dengan Tiongkok dan terlibat dalam diskusi dengan para pemimpin Negeri Tirai Bambu.
 
Kritik dari Barat berkisar pada praktik pemberian pinjaman Tiongkok kepada negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi, dan menekankan perlunya keringanan utang bagi mereka yang bergulat dengan utang yang tidak berkelanjutan. Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menekankan pentingnya mengatasi permasalahan ini.
 
Walau beberapa orang menggambarkan Tiongkok sebagai negara yang secara aktif menjerat negara-negara dalam perangkap utang, para analis berpendapat bahwa narasi ini terlalu menyederhanakan kenyataan yang lebih kompleks.
 
Banyak negara bergabung dengan BRI pada periode pertumbuhan ekonomi yang kuat, tanpa mengantisipasi beragam tantangan yang ada di depan. Pandemi Covid-19, yang berdampak besar terhadap negara-negara berkembang, dan guncangan ekonomi global, termasuk perang Rusia-Ukraina, telah berdampak pada fundamental perekonomian, khususnya bagi negara-negara Afrika yang merupakan importir utama pangan dan minyak.
 
Studi terbaru menunjukkan bahwa pinjaman Tiongkok ke Afrika telah menurun ke tingkat terendah dalam dua dekade. Meski BRI tetap menjadi fitur utama kebijakan luar negeri Tiongkok, Beijing mungkin akan mengalihkan fokusnya ke investasi yang lebih kecil seiring dengan berkembangnya lanskap ekonomi internasional.
 
Kesimpulannya, BRI telah membawa peluang dan tantangan bagi negara-negara Afrika, dengan dampak beragam di berbagai negara. Meski BRI memiliki potensi signifikan dalam pembangunan infrastruktur, transportasi, dan perdagangan, namun mengatasi permasalahan seperti syarat pembayaran yang realistis dan model kompensasi adalah hal yang perlu dilakukan.
 
Ketika Afrika beradaptasi dengan dinamika global yang terus berkembang dan perubahan lanskap pembangunan, negara-negara di benua tersebut harus menavigasi perjalanan rumit masalah utang, investasi, dan pertumbuhan ekonomi.
 
Baca juga:  Utang Laos Terus Meningkat di Tengah Proyek Belt and Road Tiongkok
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan