Peresmian kereta peluru Lane Xang di Vientiane, Laos, 16 Oktober 2021. (STR / LAO NATIONAL TV / AFPTV / AFP)
Peresmian kereta peluru Lane Xang di Vientiane, Laos, 16 Oktober 2021. (STR / LAO NATIONAL TV / AFPTV / AFP)

Utang Laos Terus Meningkat di Tengah Proyek Belt and Road Tiongkok

Willy Haryono • 16 Oktober 2023 18:12
Vientiane: Dengan kecepatan hampir 160 kilometer per jam, kereta buatan Tiongkok meluncur melintasi Sungai Mekong dan melewati puluhan terowongan yang membosankan saat melaju ke utara dari ibu kota Laos. Di perhentian terakhirnya, di dekat perbatasan Tiongkok, sejumlah apartemen menjulang tinggi di area hutan negara tersebut.
 
Tiongkok mendanai sebagian besar pembangunan infrastruktur baru yang mengubah Laos, negara berpenduduk 7,5 juta jiwa. Lonjakan pembangunan gedung-gedung tinggi serta infrastruktur lain di Laos menunjukkan modernitas, yang menurut Tiongkok dapat ditawarkan kepada dunia.
 
Dari berbagai proyek di Laos, Tiongkok membanggakan kereta api berkecepatan tinggi Laos-Tiongkok. Kereta itu disebut Tiongkok sebagai sebuah prestasi dalam bidang teknik, yang dapat mengubah perjalanan selama dua hari melintasi Laos menjadi hanya tiga jam. Jalur ini dibangun oleh para insinyur Tiongkok sesuai standar kereta api mereka, sehingga dapat terhubung ke jaringan rel berkecepatan tinggi Tiongkok.

Di tengah pembangunan ini, perekonomian Laos berada dalam kesulitan. Inflasi naik hingga lebih dari 41 persen pada puncaknya di musim semi ini. Mata uang kip Laos telah terdepresiasi lebih dari 43 persen terhadap dolar AS. Di negara yang hampir semua barangnya diimpor, statistik tersebut diterjemahkan menjadi kesulitan: petani tidak mampu lagi membeli pupuk, anak-anak putus sekolah untuk bekerja mencari uang, dan keluarga yang tidak lagi mendapat layanan kesehatan.
 
Strategi yang dipimpin Tiongkok dimaksudkan untuk melindungi Laos dari guncangan-guncangan ini, namun pada kenyataannya justru menjadi penyebab guncangan tersebut. Laos sedang berjuang membayar kembali miliaran dolar yang dipinjamnya dari Tiongkok untuk mendanai bendungan pembangkit listrik tenaga air, kereta api dan jalan raya, yang telah menghabiskan cadangan devisa negara tersebut.
 
Ketika pembayaran kembali tertunda, utang luar negeri Laos meningkat. Kesulitan ini diperburuk kedatangan pandemi Covid-19 di tahun 2020, dan kenaikan harga bahan bakar serta pangan global.
 
Laboratorium penelitian AidData di William & Mary, yang melacak skema pinjaman Tiongkok, menghitung total utang Laos ke Tiongkok selama periode 18 tahun mulai tahun 2000 sebesar USD12,2 miliar — sekitar 65 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan ditambah utang dari beberapa negara dan agensi, utang Laos mencapai lebih dari 120 persen berbanding PDB, menurut AidData.
 
"Tidak ada negara di dunia yang memiliki jumlah utang ke Tiongkok yang lebih tinggi dibandingkan Laos. Ini adalah contoh yang sangat, sangat ekstrem," kata Brad Parks, direktur eksekutif AidData, seperti dikutip dari laman Washington Post, Senin, 16 Oktober 2023.
 
Laos pun terpaksa melakukan kompromi, termasuk dalam hal kedaulatannya sendiri demi menyenangkan Beijing dan meminta keringanan finansial. Hal ini memungkinkan agen keamanan dan polisi Tiongkok untuk beroperasi di Laos, di saat Beijing memperluas pengaruhnya di kawasan, menurut sejumlah kelompok hak asasi manusia dan aktivis Laos.
 
Sebagian jaringan listrik Laos kini dikendalikan Tiongkok, yang menurut para analis merupakan trade-off sebagai pengganti pembayaran utang. Sebuah perusahaan Tiongkok juga menangani sektor keamanan untuk jalur kereta api baru di Laos.
 
Tiongkok juga menghadapi pilihan sulit. Tiongkok tidak boleh membiarkan Laos gagal bayar, karena strategi regional Beijing bertumpu pada keberhasilan di sini. Jalur kereta api yang melintasi seantero Laos dimaksudkan untuk meluas ke Thailand dan Malaysia, dan kemudian Singapura, untuk menciptakan jaringan sesuai ambisi Presiden Tiongkok Xi Jinping.

Belt and Road Initiative di Laos

Laos juga merupakan salah satu dari sedikit kisah sukses bagi Tiongkok, di saat Belt and Road Initiative (BRI) menyusut atau dievaluasi ulang di negara lain, sehingga memaksa Beijing untuk fokus pada tujuan-tujuannya yang paling strategis, yaitu mengintegrasikan negara-negara tetangga terdekatnya ke dalam skema BRI.
 
"Laos adalah pintu masuk yang lebih dekat ke Asia Tenggara," kata Toshiro Nishizawa, seorang profesor dari Universitas Tokyo yang menangani bidang kebijakan ekonomi dan pembangunan, dan selama ini telah memberikan nasihat kepada pemerintah Laos.
 
Nishizawa mengatakan bahwa Tiongkok sejauh ini "sangat murah hati" dengan mengizinkan menunda pembayaran, namun masalah utang seperti itu tidak bisa ditunda selamanya tanpa batas waktu.
 
Pengampunan utang kepada negara-negara seperti Laos juga akan membuka peluang bagi Tiongkok untuk menerima permintaan serupa dari pemerintah di seluruh dunia. Beijing telah meminjamkan hampir USD1 triliun kepada negara-negara berkembang dalam dua dekade terakhir, jumlah yang sangat besar yang secara fundamental telah mengubah posisi Tiongkok di dunia.
 
"Kita sekarang mulai mengenal Tiongkok sebagai penagih utang terbesar di dunia," kata Parks dari AidData.
 
"Sulit untuk tidak membiarkan hal ini mempengaruhi sejumlah hubungan diplomatik," sambungnya.
 
Kedutaan Besar Laos di Washington tidak menanggapi permintaan komentar seputar hal ini. Perwakilan dari Laos-China Railway Company Ltd. telah mengajukan pertanyaan ke Kementerian Luar Negeri Laos, yang juga tidak menanggapi permintaan komentar. Kementerian Luar Negeri Tiongkok juga tidak menanggapi permintaan komentar yang dikirim melalui email dan faks.
 
Menaiki kereta berkecepatan tinggi baru buatan Tiongkok dari ibu kota Laos, Vientiane, ke Boten, dan kemudian kembali ke kota wisata Luang Prabang yang tenang, mengungkap sebuah kisah mengenai negara yang mengakui keterbatasannya dan di waktu bersamaan sangat cemas akan ketergantungannya kepada Beijing.
 
Baca juga:  Tiongkok dan Diplomasi Jebakan Utang di Kawasan Asia

Kritik Warga

Masyarakat Laos mulai mengungkapkan ketidakpuasan mereka atas hal ini secara daring, yang ditujukan kepada Tiongkok dan pemerintah mereka sendiri. Hal ini jarang terjadi di negara sosialis satu partai di mana para pengkritiknya akan diganggu atau bahkan 'dihilangkan.'
 
Belakangan ini, warga Laos di media sosial mengekspresikan kemarahan mereta atas laporan di bulan Agustus bahwa perusahaan pertambangan Tiongkok telah menahan sekitar 50 penduduk desa karena menggali emas secara ilegal di wilayah utara Laos, tempat di mana perusahaan tersebut memegang konsesi dan meminta uang tebusan untuk pembebasan mereka.
 
"Laos sangat berutang kepada Tiongkok sehingga (warga Tiongkok) bisa datang ke sini (dan) mengambil tanah kami begitu saja," kata Nin, seorang penjual sayuran dan bumbu berusia 23 tahun di pasar lokal di Vientiane. Ia hanya memberikan nama depan karena takut akan pembalasan dari pemerintah. Perusahaan-perusahaan Tiongkok, katanya, dapat menggunakan pekerja Laos sesuka mereka.
 
Sejumlah survei menunjukkan adanya pergeseran sentimen luar biasa dari Tiongkok ke negara-negara Asia dan Barat lainnya, termasuk Amerika Serikat. Padahal, AS adalah negara yang menghujani sekitar 270 juta bom curah di Laos selama Perang Vietnam di era 1960-an dan 1970-an.
 
Survei Keadaan Asia Tenggara tahun ini oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura menunjukkan mayoritas responden dari Laos, hampir 60 persen, mengatakan mereka lebih memilih kawasan ini untuk bersekutu dengan AS dibandingkan Tiongkok, suatu kebalikan tajam dari survei tahun sebelumnya. Jumlah responden yang meningkat, lebih dari 72 persen, juga mengindikasikan bahwa mereka khawatir terhadap pengaruh ekonomi Tiongkok.

Proyek Kereta Api Laos-Tiongkok

Ketika Laos mengembangkan visinya sebagai "baterai Asia," dengan harapan dapat mengekspor listrik yang sebagian besar dihasilkan pembangkit listrik tenaga air, Laos beralih ke Tiongkok untuk mendapatkan dukungan. Perusahaan-perusahaan Tiongkok datang untuk membangun bendungan dan infrastruktur pendukung. Perusahaan-perusahaan Tiongkok lainnya pun mengikuti jejaknya, dan membuat investasi berskala di bidang pertambangan, pertanian dan telekomunikasi.
 
Pada 2013, Tiongkok menjadi investor asing terbesar di Laos dengan nilai sekitar USD5 miliar yang tersebar di 745 proyek, melampaui Thailand.
 
Kereta api berkecepatan tinggi dari ibu kota Laos ke kota perbatasan Boten dan kemudian ke provinsi Yunnan di Tiongkok menjadi ciri khas dalam proyek kedua negara, meski ada peringatan dari para ekonom tentang utang yang harus ditanggung Laos untuk membangunnya. Alasan komersial untuk pembangunan kereta api juga dinilai "lemah," menurut laporan Bank Pembangunan Asia, dengan biaya yang lebih besar dibanding manfaatnya, bahkan jika proyek tersebut jalur tersebut pada akhirnya terhubung ke Malaysia dan Singapura.
 
Tujuh puluh lima terowongan, 167 jembatan, dan kemudian jalur kereta api jalur tunggal senilai USD6 miliar telah dibuka di Laos pada Desember 2021. Media pemerintah Tiongkok melakukan upaya khusus untuk menyoroti salah satu aspek teknis yang paling menantang dalam pembangunan jalur kereta api: membersihkan persenjataan yang belum meledak yang ditinggalkan tentara Amerika Serikat di era Perang Vietnam.
 
Seorang kolumnis dari Global Times yang dikelola pemerintah Tiongkok kemudian menyatakan bahwa "AS telah menjatuhkan banyak bom di Laos," sementara "Tiongkok membangun jalur kereta api."
 
Pembatasan Covid masih berlaku di Beijing pada saat pembukaan kereta di Laos, sehingga memaksa Xi untuk meresmikan dari jarak jauh. "Dengan adanya kereta api ini, gunung dari Kunming ke Vientiane tidak lagi tinggi, dan jalannya tidak lagi panjang," kata Xi dalam pidato yang disiarkan melalui tautan video ke ruangan penuh pejabat Laos.
 
Presiden Laos, Thongloun Sisoulith, menjawab dengan berseri-seri bahwa negaranya kini dapat mewujudkan mimpi membangun koneksi kereta api ke Tiongkok dan sekitarnya. Layanan penumpang lintas batas dua arah antara Laos dan Tiongkok dimulai di bulan April.
 
Pada suatu pagi baru-baru ini di luar stasiun Vientiane -- sebuah bangunan yang lebih megah dibandingkan bandara ibu kota – para penumpang tampak bersemangat mengulurkan tongkat selfie mereka untuk berfoto.
 
Namun, para analis mengatakan, bukan perjalanan penumpang yang akan memberikan manfaat bagi Laos, melainkan angkutan barang – dan sejauh ini perjalanan tersebut sebagian besar hanya satu arah, dengan barang-barang yang diekspor dari Tiongkok masuk ke Laos dan kemudian ke Thailand. Hanya beberapa perusahaan di Laos yang telah menggunakan jalur kereta ini untuk mengekspor produk ke Tiongkok, dan hampir seluruhnya dari mereka adalah warga Tiongkok, kata para eksekutif bisnis.
 
"Sebagai perusahaan Australia, kami belum melihat manfaatnya," kata seorang eksekutif di Laos, yang tidak ingin disebutkan namanya karena sensitivitas isu. Hanya perusahaan yang memiliki koneksi dengan Tiongkok dan investor Laos saja yang bisa mendapatkan akses ke kereta. Tanpa koneksi tersebut, "hampir mustahil untuk menggunakan kereta api," tambah eksekutif tersebut.
 
Pemerintah Laos mengatakan mereka memperkirakan perkeretaapian, yang merupakan perusahaan patungan 70-30 antara perusahaan milik negara Tiongkok dan perusahaan milik Laos, akan menghasilkan keuntungan di tahun 2026.
 
Namun perusahaan induk, yang tidak memiliki pendapatan selain yang dihasilkan perkeretaapian, mengatakan bahwa kereta api ini tidak hanya akan menghasilkan keuntungan, tetapi juga bisa membayar kembali pinjaman sebesar USD3,54 miliar yang diperolehnya dari Export-Import Bank of China.
 
Parks mengatakan, "Jika pendapatan kereta api tidak mencukupi, maka tidak jelas siapa yang akan memberikan dana talangan kepada perusahaan tersebut."
 
"Ini merupakan ancaman nyata bagi Laos: Mereka tidak tahu apakah mereka akan bertanggung jawab atas sebagian kecil atau sebagian besar utang, atau bahkan tidak sama sekali," sambungnya.

'Tanah Indah Boten'

Kerumunan di kereta telah berkurang ketika kereta berhenti di stasiun terakhir di sisi perbatasan Laos. Kota Boten pada awal tahun 2000-an diubah oleh sebuah perusahaan swasta yang berbasis di Hong Kong dari sebuah pos terpencil di pinggiran utara Laos hingga ke kota kasino. Wisatawan dari Tiongkok, dan juga dari daerah lain di Laos dan negara tetangga Thailand, berbondong-bondong mengunjungi klub malam dan tempat perjudiannya.
 
Boten ditetapkan sebagai zona ekonomi khusus dengan kasino besar sebagai pusat bisnisnya. Dibangun terutama untuk pengunjung Tiongkok, yang menganggap perjudian ilegal di kampung halamannya, kota ini segera berubah menjadi tanpa hukum. Pemerintah Tiongkok, sebagai tanggapannya, memutus aliran listrik dan telekomunikasi layanan ke zona tersebut, yang datang dari negara tetangga Yunnan. Kasino terpaksa ditutup. Kerusakan terjadi. Cat mulai terkelupas dari bangunan berwarna merah muda dan kuning.
 
Belt and Road Initiative menawarkan Boten kesempatan hidup baru sebagai perhentian pertama dalam rencana Beijing untuk mengintegrasikan negara-negara tetangganya secara ekonomi dan fisik. Kawasan ekonomi khusus tersebut diubah namanya dari "Kota Emas Boten," julukannya sebagai tujuan perjudian, menjadi "Tanah Indah Boten."
 
Haicheng Holdings, sebuah pengembang swasta yang berbasis di Yunnan, mulai membangun bangunan tempat tinggal dan sekolah di kota tersebut, dengan harapan akan adanya gelombang migran Tiongkok setelah ledakan yang diperkirakan terjadi.Iklan di showroom Haicheng menampilkan banyak foto Xi dengan pejabat Laos yang menyebut Boten sebagai “pilot” zona” untuk memperdalam kerja sama regional.
 
Di luar ruang pamer marmer, realitas Boten tidak memiliki kemiripan dengan kota model Haicheng yang berlapis emas, dan pihak pemasaran tidak berbuat banyak untuk menghilangkan masa lalunya yang buruk. Sebaliknya, beberapa ribu penduduk Boten sebagian besar adalah pekerja Tiongkok yang membangun menara perumahan baru dan mereka yang bekerja di bidang jasa yang melayani perumahan tersebut — restoran Tiongkok, toko-toko Tiongkok, dan rumah bordil. Penjaga keamanan swasta dengan bendera Tiongkok di jaket antipeluru mereka mengawasi daerah tersebut.
 
Hampir tidak ada toko yang dijalankan atau dimiliki oleh Laos. Bisnis hampir secara eksklusif menerima yuan Tiongkok daripada mata uang lokal. Hot pot kukus, daging panggang, dan mie dalam sup berwarna merah lava disajikan di sini di atas hidangan Laos seperti ketan dan laab. Pada malam hari, kaum muda para perempuan duduk di luar rumah bordil bermandikan lampu neon ungu dan merah muda, sementara para penjaga rumah bordil mencoba membujuk laki-laki Tiongkok yang berjalan di luar untuk masuk.
 
Phet, 32, adalah salah satu dari sedikit pemilik toko asal Laos yang tersisa di zona tersebut, yang mengelola sebuah toko kecil yang menjual makanan ringan dan makanan khas Laos yang dibuat di dapur belakang yang kecil. Dia mengatakan dia melihat kerumunan orang pada awalnya ketika kereta pertama kali dibuka, namun Bisnis ini kini sudah tidak ada lagi. Kereta api ini memungkinkan pengunjung dari Tiongkok untuk melewati Boten, langsung menuju Vientiane atau Luang Prabang dan kembali ke Tiongkok tanpa turun lagi.
 
Hal paling sulit adalah, majikan Phet hanya menerima sewa dalam yuan Tiongkok. Dengan mata yang kip Laos yang terdevaluasi, biaya menjalankan bisnisnya bertambah signifikan.
 
"Para bos di Tiongkok jauh lebih ketat dibandingkan para bos di Laos. Kami tidak punya kemampuan untuk bernegosiasi dengan mereka. Kami tidak bisa berbicara dengan mereka," tutur Phet.

Ketidakpuasan terhadap Tiongkok

Soutchai Phouthivong, 60, telah mengendarai songthaew – sebuah truk pickup yang berfungsi sebagai taksi bersama – sejak Jembatan Persahabatan Lao-Thailand dibuka pada tahun 1994, mengangkut orang dari pos pemeriksaan imigrasi dekat Vientiane ke mal dan restoran Thailand di Nong Khai. khususnya keluarga berpenghasilan rendah yang tidak memiliki mobil, adalah pelanggan utamanya.
 
Penghasilannya, kata dia, turun lebih dari setengahnya pada tahun ini. "Lihat, sekarang sudah hampir tengah hari dan tidak ada orang Laos di sekitar sini," kata Phouthivong belum lama ini.
 
"Saya beruntung bisa melakukan satu atau dua perjalanan sehari," lanjutnya.
 
Perjalanan yang dulunya merupakan perjalanan rutin bagi banyak orang di Laos – untuk mencari perawatan medis, membeli barang-barang yang tidak dapat mereka temukan di rumah atau sekadar menikmati jalan-jalan di akhir pekan – kini menjadi tidak terjangkau karena jatuhnya mata uang Laos dan inflasi.
 
Seorang penjual barang kering berusia 52 tahun mengatakan bahwa harga mie telah naik tiga kali lipat, dari makanan pokok menjadi barang mewah. Sonesavanh, seorang pria berusia 46 tahun yang suaminya menderita depresi, beralih ke pengobatan Buddha dan mencari berkah dari para biksu. Ia berusaha memperbaiki peruntungan dengan menata ulang perabotan, karena biaya pengobatan yang ia perlukan di Thailand kini tidak terjangkau.
 
“Ini seperti perlombaan antara perekonomian dan suami saya, untuk melihat mana yang lebih baik terlebih dahulu,” katanya.
 
Ketidakpuasan terhadap Tiongkok dan pemerintah Laos telah “menyatu pada saat ini,” kata Joshua Kurlantzick, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Dewan Hubungan Luar Negeri yang menulis pada bulan April tentang kerusuhan populer di Laos. terhadap Tiongkok secara keseluruhan. Anda tidak melihat kemarahan terhadap mitra-mitra lain yang penting bagi Laos, seperti Thailand dan Vietnam."
 
Pada bulan Maret 2022, Anousa Luangsuphom, 25 tahun – seorang aktivis yang dikenal sebagai Jack di Laos – meluncurkan halaman Facebook bernama “Kekuatan Keyboard,” menggunakan sindiran dan meme untuk mengkritik pemerintahnya dan jangkauan Tiongkok ke negaranya. untuk mengakhiri kekuasaan satu partai di Laos.
 
Pada tanggal 29 April, Jack mengubah foto profil Facebook-nya menjadi foto yang bertuliskan moto “Berjuang demi kelangsungan hidup Laos, agar kita tidak menjadi budak Tiongkok.” Dia kemudian menjalani harinya dengan menyajikan khao piak sen, hidangan sup mie khas Laos. di toko tempat dia bekerja, sebelum bertemu teman-teman di kedai kopi dan bar.
 
Malam itu, seorang pria memasuki bar dan bertanya dalam beberapa kata Lao apakah mereka masih menyajikan alkohol. Dia keluar sebentar sebelum kembali dan menembak Jack di dalam wajah dan dada.
 
“Saya tidak tahu apa yang terjadi pada saya,” kata Jack dalam sebuah wawancara, yang pertama sejak serangan itu. “Saya hanya mendengar orang memanggil nama saya.”
 
Jack awalnya dirawat di rumah sakit pemerintah Laos, sebelum Yayasan Manushya, sebuah kelompok hak asasi manusia, mengorganisir evakuasi medisnya. Dokter di luar Laos bekerja untuk merekonstruksi rahangnya, namun mereka memperkirakan dia tidak akan dapat berbicara lagi selama setahun karena penyakit tersebut. kerusakan yang luas.
 
Kini di lokasi yang aman, Jack mempelajari kembali fungsi-fungsi dasar. Dia kesulitan mengunyah, dan meskipun dia bisa berbicara, dia kesulitan mengartikulasikan kata-katanya. Dia biasa menyentuh bekas luka berbentuk lingkaran di sebelah kanan bibirnya, tempat peluru masuk ke mulutnya. pipinya.
 
Jack tidak tahu siapa yang menembaknya, dia juga belum bisa melihat video penembakannya, yang banyak dibagikan di media sosial Laos. Yang dia tahu hanyalah bahwa pada hari dia ditembak, dia sudah secara eksplisit mengunggah tentang apa yang ia sebut sebagai monopoli Tiongkok atas Laos, yang ia gambarkan dalam sebuah wawancara sebagai hal yang sama dengan “invasi.”
 
Jack sedang mencoba untuk membangun kembali kehidupannya, membantu para aktivis menjadi lebih baik di media sosial sambil menunggu operasi lebih lanjut untuk memperbaiki rahangnya dan memulihkan pidatonya. Namun Jack telah berhenti mengatakan hal-hal negatif di dunia maya tentang pemerintah Tiongkok, atau proyek-proyek yang terkait dengan Tiongkok di Laos.
 
Beberapa bulan setelah penembakannya, dua pembangkang Tiongkok – aktivis kebebasan berpendapat Yang Zewei, juga dikenal sebagai Qiao Xinxin, dan pengacara hak asasi manusia terkemuka Lu Siwei – ditahan di Laos. Yang muncul kembali lebih dari dua bulan kemudian di Tiongkok pusat penahanan dan telah didakwa dengan “subversi kekuasaan negara.”
 
Lu dideportasi ke Tiongkok pada pertengahan September, meskipun ada tekanan dari pemerintah Barat dan PBB untuk membebaskannya dan mengizinkannya melakukan perjalanan ke Amerika Serikat, di mana istri dan istrinya putrinya dimukimkan kembali tahun lalu.
 
Lu mempunyai visa AS. Dalam sebuah pernyataan pada 11 Oktober, Kementerian Luar Negeri mengecam “repatriasi paksa” yang dilakukan Lu, yang menurut mereka merupakan permintaan pihak berwenang Tiongkok.
 
Ketakutan Jack saat ini adalah meningkatnya kebijakan transnasional di Tiongkok akan menjeratnya juga.
 
“Saya tidak menyadari bahwa berbicara tentang Tiongkok dapat membuat saya tertembak," kata Jack. "Saya tidak menyadari bahwa berbicara tentang Tiongkok lebih berbahaya daripada berbicara tentang pemerintah Laos," ungkapnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan