Dengan desain hegemonik dan ekspansionis di kawasan Asia dan sekitarnya, BRI merupakan alat utama Tiongkok untuk menebar 'jaring,' dan negara-negara seperti Bangladesh adalah pion dalam permainan untuk mendapatkan status 'Kekuatan Besar.'
Pemerintah Tiongkok telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Bangladesh pada 2016 dengan janji membantunya bertransformasi menjadi negara maju pada 2041 melalui langkah-langkah seperti pengentasan kemiskinan, kemandirian energi, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Ketika Bangladesh membutuhkan bantuan dan dana, dan negara-negara donor Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis tidak memberikan bantuan karena kekhawatiran mereka mengenai pelanggaran hak asasi manusia, kemunduran proses demokrasi, korupsi, dan lemahnya institusi, Tiongkok menemukan peluang untuk menjerat Bangladesh ke dalam BRI-nya dan jebakan utang. Skema ini diyakini telah diterapkan Tiongkok di negara-negara lain di luar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, Pakistan, dan beberapa negara Afrika.
Saat ini, terdapat lebih dari 240 perusahaan Tiongkok yang mendominasi semua sektor penting perekonomian Bangladesh termasuk listrik, transportasi, digitalisasi, jalur kereta api, pembangkit energi, dan energi terbarukan.
Antara tahun 2016 dan 2022 saja, Tiongkok menginvestasikan lebih dari USD26 miliar di Bangladesh, menjadikannya penyedia investasi langsung (FDI) terbesar bagi Bangladesh. Pada 2023 saja, Tiongkok telah menginvestasikan USD800 juta di Bangladesh dalam berbagai sektor, termasuk pusat plasma, garmen, dan manufaktur.
Kekhawatiran terhadap niat Tiongkok mulai muncul. Pada Agustus 2022, Menteri Keuangan Bangladesh Mustafa Kamal memperingatkan komunitas global untuk mewaspadai jebakan utang Tiongkok dalam investasi BRI.
Perekonomian Bangladesh sendiri selama ini dibanjiri investasi Tiongkok. Tiongkok telah membangun lebih dari 21 jembatan dan 11 jalan raya, tujuh jalur kereta api, dan 27 proyek energi dan pembangkit listrik di Bangladesh.
Perusahaan Tiongkok juga telah mengakuisisi tiga ladang gas di Bangladesh yang menghasilkan lebih dari 50 persen total gas negara. Bursa saham Tiongkok (Shanghai dan Shenzhen) telah mengakuisisi 25 persen saham di bursa saham Dhaka.
Jebakan Utang Tiongkok di Bangladesh
Genggaman Tiongkok terhadap Bangladesh semakin erat melalui investasi mereka. Dalam hal ini, Bangladesh -- dan juga Indonesia -- perlu memahami langkah Tiongkok dalam melakukan diplomasi jebakan utang. Kasus-kasus di Sri Lanka, Pakistan, dan beberapa negara Afrika menandakan risiko yang akan datang.Kondisi ekonomi dan keuangan Sri Lanka saat ini sangat genting. Perekonomian Sri Lanka sedang mengalami tingkat inflasi tinggi dan kekurangan komoditas penting termasuk bahan bakar dan obat-obatan, cadangan devisa yang menipis, dan tidak mampu menutupi kebutuhan impor, bahkan untuk beberapa pekan saja.
Faktor Tiongkok yang memperburuk kondisi ekonomi dan keuangan Sri Lanka tidak dapat diabaikan. Antara tahun 2005 dan 2015, Tiongkok muncul sebagai sumber utama FDI dan bantuan pembangunan di Sri Lanka.
Tiongkok melihat peluang dalam berinvestasi di berbagai proyek infrastruktur besar di Sri Lanka untuk mendapatkan keuntungan strategis di kawasan Samudra Hindia dan untuk melawan kekuatan India di kawasan Asia Selatan.
Di sisi lain, Sri Lanka siap meminta bantuan Tiongkok mengingat pencairan pinjaman berlangsung relatif cepat. Beijing juga tidak terlalu peduli dengan catatan hak asasi manusia dan masalah dalam negeri Sri Lanka.
Meski banyak peringatan dari para ahli mengenai strategi Tiongkok, yang bertujuan menjerat negara-negara dalam jebakan utang sembari mengamankan hak teritorial, kasus-kasus nyata menggambarkan keefektifan strategi tersebut.
Misalnya, Sri Lanka, berada dalam kesulitan karena harus menyewakan pelabuhan Hambantota ke Tiongkok selama 99 tahun. Hal ini disebabkan ketidakmampuannya membayar utang sebesar USD1,4 miliar kepada Beijing, yang telah membiayai pembangunan pelabuhan tersebut. Sayangnya, Sri Lanka tidak hanya menerima pengaturan ini, tetapi juga mendorong Tiongkok untuk berinvestasi pada beberapa proyek yang terbukti tidak berkelanjutan.
Tiongkok memanfaatkan kerentanan ekonomi, celah, dan praktik korupsi Sri Lanka untuk perhitungan politik dan ekonominya. Ketika utang Sri Lanka tidak dapat dilunasi karena krisis ekonomi, Tiongkok menyalahkan Sri Lanka atas menipisnya cadangan devisa dan kesalahan pengelolaan ekonomi jangka panjang terkait dengan proposal proyek dan pinjaman yang tidak berkelanjutan. Demikian pula halnya dengan Tiongkok yang secara efektif menjajah Pakistan melalui diplomasi perangkap utangnya.
Red Flag IMF
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporannya di tahun 2022 telah mengeluarkan red flag sehubungan dengan Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC).Dinyatakan bahwa pada 2022, kewajiban kontinjensi menimbulkan risiko signifikan terhadap keberlanjutan utang Pakistan, karena lebih dari 30 persen total utang luar negeri Pakistan merupakan utang ke Tiongkok.
Survei Ekonomi terbaru Pakistan di tahun 2021-2022 memberikan gambaran sekilas tentang seberapa besar utang Pakistan kepada Tiongkok.
Tiongkok adalah kreditor bilateral terbesar di Pakistan dengan pinjaman lebih dari USD14,5 miliar. Namun, angka ini tidak mencakup jumlah sebenarnya pinjaman Tiongkok ke Pakistan. Misalnya, pinjaman telah diberikan dalam berbagai kategori lain seperti Administrasi Negara dan Devisa Tiongkok (SAFE) yang telah meminjamkan lebih dari USD7 miliar ke Pakistan.
Selain itu, sebagian besar pinjaman Tiongkok ditujukan untuk CPEC yang menggarisbawahi tujuan strategis di balik pemberian pinjaman. Proyek semacam ini merupakan inti dari visi Tiongkok dalam membangun dunia yang berpusat pada Tiongkok dengan menciptakan proyek infrastruktur dan menarik sejumlah negara ke dalam orbit politiknya. Semua ini bermanfaat bagi taktik Tiongkok dalam mengiris wilayah Pakistan.
BRI Tiongkok menjadi tuan rumah terbaik di Afrika, dengan hampir semua negara di benua tersebut terlibat dalam proyek andalan Tiongkok. Di Afrika, Tiongkok tidak hanya terlibat dalam proyek infrastruktur, industri, dan konektivitas berskala besar, namun juga dalam proyek perdamaian dan keamanan.
Hal ini memikat negara-negara Afrika ke dalam BRI dengan menghadirkan pola menarik yang menjanjikan dengan tingkat pengembalian tinggi tanpa prasyarat. Tiongkok juga tidak terlalu peduli dengan kondisi dalam negeri di negara-negara Afrika tersebut.
Fokus Tiongkok tetap pada perluasan pengaruhnya dalam Permainan Besar (Great Game) yang sedang berkembang dalam tatanan geopolitik global.
Tiongkok terkenal dengan kebijakan 'mengikuti perdagangan' di Asia Tenggara dan kawasan Indo-Pasifik yang lebih luas. BRI mempunyai pengaruh signifikan di Bangladesh, meningkatkan kekhawatiran mengenai diplomasi jebakan utang dan perambahan wilayah. Investasi strategis Tiongkok di sektor-sektor utama, serupa dengan pendekatan yang dilakukan Tiongkok di Sri Lanka dan Pakistan, sehingga menekankan perlu adanya kewaspadaan.
Meningkatnya ketergantungan pada pendanaan Tiongkok, yang terlihat dari keterikatan ekonomi Bangladesh, memerlukan pemahaman bijaksana mengenai strategi Tiongkok.
Kesulitan yang dialami Sri Lanka menjadi contoh bagaimana kerentanan ekonomi dapat menimbulkan dampak jangka panjang, dan keterlibatan Pakistan dalam Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC) adalah peringatan lainnya.
Perilaku ekspansionis Tiongkok, ditambah dengan integrasi Afrika ke dalam BRI, menggarisbawahi pentingnya negara-negara dunia untuk melindungi kedaulatan dari manuver Tiongkok yang penuh perhitungan dalam tatanan global yang berubah dengan cepat.
Oleh karena itu, Bangladesh harus dengan bijak menghindari menjadi pion dalam strategi besar geopolitik Tiongkok demi menjaga kedaulatan dan kepentingannya.
Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Dalam kasus Indonesia, Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang merupakan bagian dari BRI dinilai merupakan contoh lainnya dari jebakan utang. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyoroti proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KJCB). Proyek itu disebut membuat Indonesia dalam posisi tidak menguntungkan."KCJB bisa dikategorikan sudah masuk, bukan akan masuk jebakan utang," kata Bhima dalam diskusi virtual Crosscheck Metrotvnews.com bertajuk "Kereta Cepat Jebakan Utang China?" Minggu, 1 Oktober 2023.
Bhima mengatakan keanehan sudah terlihat sejak awal. Kala itu, pemerintah mengeklaim prosesnya bisnis ke bisnis (B2B), keuangannya dari konsorsium, proyeknya rampung tepat waktu, dan biaya jaminannya tidak terlalu mahal.
Utang besar Indonesia kepada pemerintah Tiongkok membengkak karena biaya pembangunan Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) di atas prediksi. Awalnya, pemerintah berjanji sumber pendanaan KCIC berupa kerja sama business-to-bussiness (B2B).
Namun, skema pendanaan B2B terhambat dan APBN menjadi jaminan utang Indonesia. Ekonom INDEF, Rizal Taufikurahman, menaksir utang pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung baru lunas 50 tahun ke depan.
"Hitung-hitungan kita ya sekitar 50 tahunan lah gitu ya," kata Rizal Taufikurahman.
Pada awal 2015, KCIC ditargetkan dibujetkan sebesar USD5,1 miliar. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa saat itu Pemerintah Indonesia memilih Tiongkok ketimbang Jepang yang mengusulkan angka lebih tinggi sedikit daripada ini.
Tetapi kemudian estimasi membengkak menjadi USD8 miliar. Pada 16 Agustus 2023, Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi menyatakan biaya pembangunan KCJB menjadi USD7,2 miliar dengan kurs sekitar Rp15.300 per USD atau setara Rp110,1 triliun.
Baca juga: Terjebak Utang Tiongkok
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News