Perjanjian ini menciptakan kerangka kerja bagi perdamaian antara Mesir dan Israel yang secara resmi ditandatangani pada Maret 1979.
Jimmy Carter, yang baru saja wafat pada usia 100 tahun, meninggalkan warisan diplomasi yang diakui dunia, termasuk Israel dan Mesir.
"Presiden Carter adalah simbol upaya kemanusiaan dan diplomatik," ujar Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi.
Namun, benarkah perjanjian ini sepenting itu? Yuk simak penjelasannya.
Latar Belakang Perang Enam Hari

Gambar: Peta wilayah Israel setelah Perang Enam Hari. (DW)
Latar belakang Perjanjian Camp David tidak terlepas dari Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967), konflik yang mempertemukan Israel dengan koalisi Arab, termasuk Mesir, Suriah, dan Yordania.
Dalam perang ini, Israel berhasil merebut wilayah strategis seperti Dataran Tinggi Golan dari Suriah, Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur dari Yordania, dan Semenanjung Sinai serta Jalur Gaza dari Mesir.
Hasil ini memperkuat posisi negosiasi Israel tetapi juga meningkatkan ketegangan dengan negara-negara Arab.
Konsekuensi perang ini adalah pengungsian lebih dari 400.000 warga Palestina dan Suriah dari wilayah-wilayah yang direbut, serta memicu kritik internasional terhadap okupasi Israel.
Dalam konteks ini, Perjanjian Camp David muncul sebagai upaya untuk meredakan ketegangan regional, meskipun tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah Palestina.
Negosiasi di Camp David

Foto: Presiden Mesir Anwar Sadat, Jimmy Carter dan Menachem Begin tanda tangan perjanjian, 1978. (Domain Publik)
?Negosiasi dimulai dengan langkah berani Presiden Mesir Anwar Sadat yang mengunjungi Yerusalem pada November 1977 membuka jalan bagi diskusi langsung antara Mesir dan Israel.
Meski demikian, perundingan ini tidak mencapai kemajuan substansial hingga Carter mengambil peran lebih aktif pada 1978.
Pada Juli 1978, setelah Sadat menyatakan frustrasi atas lambatnya kemajuan, Carter mengundang Sadat dan Begin ke Camp David, Maryland.
Pertemuan berlangsung dari 5 hingga 17 September 1978, melibatkan negosiasi intensif selama 12 hari. Carter memainkan peran sebagai mediator utama, sering kali melakukan pertemuan terpisah dengan delegasi Mesir dan Israel.
Masalah utama yang dibahas mencakup penarikan Israel dari Sinai, masa depan Gaza dan Tepi Barat, serta status permukiman Israel.
Mesir menuntut pengembalian wilayah sesuai garis perbatasan 1967, sementara Israel bersikeras mempertahankan kontrol atas Tepi Barat dan Gaza dengan menawarkan otonomi terbatas untuk Palestina. Negosiasi ini menghasilkan dua dokumen utama:
1. Kerangka kerja untuk perdamaian Mesir-Israel, yang mencakup penarikan penuh Israel dari Sinai.
2. Kerangka kerja untuk otonomi Palestina di Gaza dan Tepi Barat, meskipun implementasinya menemui banyak hambatan.
Penandatanganan Perdamaian

Foto: Pembunuhan Sadat, 1981. (AFP)
Pada 26 Maret 1979, Mesir dan Israel secara resmi menandatangani Perjanjian Perdamaian di Gedung Putih.
Perjanjian ini, yang disaksikan langsung oleh Presiden Jimmy Carter, turut mengantar Anwar Sadat dan Menachem Begin menerima Nobel Perdamaian 1978 sebagai penghargaan atas usaha mereka dalam menciptakan perdamaian di Timur Tengah.
Kesepakatan ini menjadikan Mesir negara Arab pertama yang mengakui Israel. Sebagai imbalannya, Israel menarik diri sepenuhnya dari Semenanjung Sinai.
Namun, perjanjian ini memicu kontroversi di dunia Arab. Mesir dikecam oleh negara-negara Arab lainnya dan dikeluarkan dari Liga Arab. Di dalam negeri, Sadat menghadapi kritik keras yang pada akhirnya berkontribusi pada pembunuhannya pada 1981.
Kritik dan Evaluasi

Gambar: Peta wilayah Israel saat ini. (PBB)
Kesepakatan Camp David memperkuat posisi AS sebagai mediator global, tetapi juga menunjukkan keterbatasan diplomasi dalam menyelesaikan konflik yang lebih luas di Timur Tengah. Otonomi yang dijanjikan untuk Palestina di Gaza dan Tepi Barat tidak terwujud.
Perwakilan Palestina tidak terlibat langsung dalam pembicaraan, dokumen kerangka kerja mengakui “hak-hak sah rakyat Palestina.” Namun, pengimplementasian poin ini seperti yang sudah diungkit menghadapi berbagai hambatan.
Israel hanya setuju untuk memberikan otonomi terbatas, bukan pembentukan negara Palestina yang independen. Hal ini menimbulkan kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk komunitas internasional, yang merasa hak-hak warga Palestina tidak sepenuhnya terwakili.
Meskipun, Israel pada akhirnya menarik diri dari Gaza tahun 2005 dan Hamas mendapatkan otonomi daeah tersebut setelah berkonflik dengan PLO.
Keputusan untuk tidak memasukkan isu Dataran Tinggi Golan dalam perjanjian ini juga menuai kritik keras. Wilayah ini, yang direbut Israel dari Suriah dalam Perang Enam Hari.
Sampai saat ini, Israel masih mengokupasi Daratan Tinggi Golan yang menjadikannya sebagai salah satu alasan utama Invasi Israel ke Suriah setelah kejatuhan Bashar al-Assad, Desember 2024.
Banyak pengamat menilai bahwa pengabaian isu ini melemahkan kredibilitas Camp David sebagai upaya menyeluruh untuk perdamaian di Timur Tengah.
Keputusan ini meninggalkan luka mendalam dalam perjuangan Palestina untuk kedaulatan dan memperkuat konflik di wilayah tersebut.
Meskipun begitu, keberhasilan perdamaian antara Mesir dan Israel menjadi tonggak penting. Kedua negara mempertahankan hubungan damai hingga sekarang, yang menjadi bukti kekuatan diplomasi Carter.
Warisan Camp David
Perjanjian Camp David menjadi warisan abadi Presiden Jimmy Carter dalam diplomasi internasional.Meski perundingan untuk otonomi Palestina tidak membuahkan hasil konkret selama masa jabatannya, keberhasilan mendamaikan Mesir dan Israel menunjukkan pentingnya diplomasi yang gigih.
Carter tidak hanya memperkuat peran AS sebagai mediator global, tetapi juga memberikan contoh nyata bahwa konflik berkepanjangan dapat diatasi melalui dialog dan kompromi.
Namun, beberapa pihak menilai bahwa Camp David Perjanjian gagal menjadi solusi menyeluruh untuk konflik di Timur Tengah.
Pengabaian isu penting seperti Dataran Tinggi Golan dan ketidakhadiran perwakilan Palestina dalam pembicaraan menjadi kelemahan utama yang mengurangi kredibilitas perjanjian ini.
Carter sendiri terlihat seperti menyesali hal ini dan mendedikasikan hidupnya paska kepresidenan dengan menyuarakan hak-hak Palestina.
Hingga kini, Perjanjian Camp David tetap menjadi simbol harapan, tetapi juga pelajaran tentang kompleksitas diplomasi regional.
Baca Juga:
Profil Jimmy Carter, Mantan Presiden AS Tutup Usia di Umur 100 Tahun
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News