Menurut laporan media NPR, serangan tersebut -- jika memang benar terjadi -- merupakan salah satu yang paling mematikan dalam konteks kekerasan etnis di Ethiopia.
"Saya menghitung ada 230 jenazah. Saya khawatir ini adalah serangan paling mematikan terhadap warga sipil sepanjang hidup saya," ucap Abdul-Seid Tahir, seorang warga dari wilayah Gimbi.
"Kami mengubur mereka di kuburan massal, dan kami masih mengumpulkan sejumlah jenazah lain. Militer federal sudah datang, tapi kami khawatir serangan dapat berlanjut saat mereka pergi," sambungnya, dikutip dari CBS News, Minggu, 19 Juni 2022.
Seorang saksi mata lainnya, Shambel, mengaku khawatir atas keselamatan dirinya. Ia mengatakan komunitas Amhara kini ingin dievakuasi ke tempat yang lebih aman demi menghindari serangan lebih lanjut.
Menurut Shambel, etnis Amhara yang tinggal di area program permukiman pemerintah sekitar 30 tahun lalu, kini "dibunuh seperti kawanan ayam."
Kedua saksi mata sama-sama menyalahkan grup pemberontak Oromo Liberation Army (OLA) sebagai pelaku serangan. Dalam sebuah pernyataan, pemerintah daerah Oromia juga menyalahkan OLA.
"Mereka (OLA) melancarkan serangan karena sudah tidak bisa lagi bertahan dari operasi pasukan keamanan federal," sebut pemerintah daerah Oromia.
Odaa Tarbii, juru bicara OLA, membantah tuduhan tersebut. Ia mengatakan bahwa serangan yang dimaksud telah dilakukan oleh personel militer dan milisi lokal.
Tarbii mengatakan serangan itu dilakukan terhadap masyarakat lokal yang dipandang memberikan dukungan kepada OLA. "Para anggota kami bahkan tidak berada di area itu saat serangan terjadi," ungkap dia.
Ethiopia mengalami ketegangan etnis di beberapa wilayah, yang sebagian besarnya diakibatkan tensi historis dan politik. Amhara, grup etnis terbesar kedua di Ethiopia, selama ini sering menjadi target serangan di area-area seperti Oromia.
Baca: Pemberontak Tigray Sebut Serangan Udara Ethiopia Tewaskan 56 Warga Sipil
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News