Dilansir dari AFP, Minggu, 24 Oktober 2021, mereka mempertanyakan rencana negara pengekspor minyak utama dunia ini dalam meningkatkan kapasitas produksinya. Namun jaringan kampanye global independen, Greenpeace meragukan hal tersebut.
Para ahli menuduh Arab Saudi, salah satu pencemar terbesar di dunia tengah mencoba mengalihkan kritik pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), COP26 di Glasgow, Skotlandia minggu depan.
Nantinya, dengan meningkatnya urgensi global guna membatasi pemanasan global, COP26 disebut bertujuan untuk menempatkan dunia pada jalur menuju nol bersih pada pertengahan abad.
“Kami mempertanyakan keseriusan pengumuman ini, karena ini sejalan dengan rencana kerajaan untuk meningkatkan produksi minyaknya,” kata manajer kampanye Greenpeace Middle East and North Africa (MENA), Ahmad El Droubi.
Bulan ini, perusahaan minyak negara Arab Saudi, Aramco mengatakan, pihaknya berencana untuk meningkatkan kapasitas produksi dari 12 juta menjadi 13 juta barel per hari pada 2027.
“Janji nol bersih emisi di Riyadh tampaknya hanya menjadi langkah strategis untuk mengurangi tekanan politik menjelang COP26”, pungkas El Droubi.
Menurut peneliti senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional, Ben Cahill, “Kerajaan Arab Saudi harus membuat dorongan secara besar-besaran pada efisiensi energi dan dekarbonisasi sektor listrik.”
Pemerintah Arab Saudi pun mengatakan, akan bergabung dengan upaya global untuk mengurangi emisi metana, gas pemanasan planet lainnya, sebesar 30 persen pada 2030. Sementara, Aramco berkomitmen untuk menjadi perusahaan nol karbon pada 2050.
PBB melaporkan, lebih dari 130 negara telah menetapkan atau sedang mempertimbangkan target pengurangan emisi gas rumah kaca menjadi nol pada pertengahan abad. Hal ini dinilai sangat penting, guna menjaga iklim yang layak huni.
Janji Arab Saudi pada Sabtu, 23 Oktober 2021 ini disebut datang setelah negara tetangga Uni Emirat Arab (UEA) yang juga salah satu pengekspor minyak terbesar dunia mengatakan, pihaknya menargetkan netralitas karbon pada 2050.
Begitupun Bahrain, negara pengekspor minyak olahan membuat janji serupa dengan Saudi pada Minggu, 24 Oktober 2021. Netralitas karbon dipercaya dapat menciptakan keseimbangan antara emisi karbon dan penyerapan karbon dari atmosfer.
Arab Saudi sebagai produsen minyak mentah terbesar di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) diketahui juga sangat bergantung pada minyak dan gas alam, guna memenuhi permintaan listrik yang kian meningkat dan menghilangkan garam air.
Negara yang memiliki populasi 34 juta jiwa ini diperkirakan, menyemburkan sekitar enam ratus juta ton karbon dioksida per tahun. Angkanya melebihi Prancis yang disebut memiliki populasi 67 juta, dan sedikit kurang dari negara yang populasinya hingga 83 juta, Jerman.
Pada 2016, Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman pun mengumumkan, visi 2030-nya untuk mengakhiri kecanduan negaranya terhadap minyak dengan mendiversifikasi ekonomi melalui investasi asing, peluang bisnis, dan sejumlah langkah lain.
Namun, inisiatif luas Pangeran Bin Salman tersebut semakin diperumit oleh hantaman pandemi covid-19 dan penurunan harga minyak mentah, dimana minyak masih menyumbang lebih dari 70 persen nilai ekspor kerajaan.
Pemerintah Arab Saudi juga mengatakan, pihaknya berencana untuk berinvestasi dalam sumber energi baru, termasuk hidrogen, “Namun, hidrogen mempertahankan status quo ketergantungan pada bahan bakar fosil yang digunakan dalam produksinya,” jelas El Droubi.
El Droubi pun tak henti mendesak Saudi untuk memprioritaskan penghapusan bahan bakar fosil dan menggantinya dengan energi terbarukan. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News