"Kembali ke masa lalu bukanlah pilihan," teriak massa, yang tetap berada di jalanan meskipun tentara Sudan melepaskan tembakan yang dilaporkan telah menewaskan tiga orang.
Dilansir dari AFP, militer Sudan menjadikan Perdana Menteri Abdalla Hamdok sebagai tahanan rumah pada Senin kemarin. Hamdok merupakan pemimpin Sudan di masa transisi menuju pemerintahan demokratis usai tergulingnya mantan Presiden Omar al-Bashir pada April 2019.
Deklarasi keadaan darurat usai kudeta memicu reaksi internasional. Amerika Serikat (AS), pendukung utama proses transisi Sudan, mengutuk keras kudeta militer dan menangguhkan bantuan jutaan dolar ke negara tersebut.
PBB menuntut "pembebasan segera" terhadap Hamdok. Sementara itu, para diplomat di New York mengatakan kepada AFP bahwa DK PBB diperkirakan akan bertemu untuk membahas krisis tersebut pada Selasa malam.
Jenderal Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, mengumumkan keadaan darurat pada Senin kemarin. Ia mengatakan, tentara telah mengambil tindakan demi "memperbaiki arah revolusi."
Layanan internet terputus di seluruh negeri dan sejumlah jalan ke Khartoum ditutup. Militer Sudan juga telah menyerbu markas besar lembaga penyiaran negara di ibu kota kembar Omdurman. Bentrokan dilaporkan masih meletus di Khartoum setelah pidato Burhan.
"Aturan sipil adalah pilihan rakyat," teriak para demonstran, yang mengibarkan bendera dan menggunakan ban untuk membuat barikade.
Kementerian Informasi Sudan mengatakan, tentara menembakkan peluru tajam ke pengunjuk rasa di jalanan. Komite Pusat Independen Dokter Sudan mencatat, tiga demonstran tewas dan sekitar 80 orang terluka.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken menyatakan keprihatinan atas laporan penggunaan peluru tajam terhadap pengunjuk rasa. Ia menyerukan pemulihan pemerintahan transisi Sudan yang dipimpin tokoh sipil.
Juru bicara Kemenlu AS, Ned Price, mengatakan bahwa pihaknya sejauh ini belum dapat menghubungi Hamdok. Dalam rangka mengecam kudeta Sudan, AS telah menangguhkan bantuan untuk negara itu dengan nilai hampir menyentuh Rp10 triliun.
Baca: AS Bekukan Bantuan Rp9,9 Triliun Untuk Sudan karena Kudeta Militer
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan bahwa penahanan para pemimpin sipil di Sudan merupakan tindakan "melanggar hukum." Tak hanya AS dan PBB, Uni Eropa, Uni Afrika dan Liga Arab juga mengecam kudeta Sudan.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi, Manusia Michelle Bachelet memperingatkan bahwa Sudan berisiko kembali ke era penindasan. "Akan menjadi bencana jika Sudan kembali bergerak mundur setelah berhasil mengakhiri dekade kediktatoran represif," tuturnya. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id