Pemerintah Lebanon mengatakan, tragedi di Beirut diakibatkan ledakan 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan secara tidak aman di area pelabuhan selama enam tahun.
Keputusan menyimpan bahan kimia tersebut memicu kemarahan masyarakat Lebanon, yang sejak lama menuding jajaran elite politik melakukan korupsi dan mismanajemen. Jumat kemarin, Aoun mengakui bahwa sistem politik yang "lumpuh" di Lebanon saat ini perlu "dipertimbangkan kembali."
"Kami sedang menghadapi perubahan dan mempertimbangkan kembali sistem negara ini, yang dibangun di atas konsensus. Sistem negara ini terlihat lumpuh dan tidak mampu mengambil sejumlah keputusan secara cepat," ujar Aoun, dilansir dari laman CGTN, Sabtu 8 Agustus 2020.
Ia bertekad menghadirkan "keadilan" atas ledakan di Beirut, namun menolak seruan menggelar investigasi internasional. Ia mengatakan kepada awak media bahwa seruan itu adalah upaya untuk "mengaburkan kebenaran."
"Ada dua skenario: kelalaian atau intervensi asing melalui misil atau bom," tegas Aoun. Ia menjadi pejabat negara pertama di Lebanon yang memunculkan wacana adanya serangan di pelabuhan Beirut.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump sempat menyebut ledakan di Beirut "terlihat seperti sebuah serangan." Hingga saat ini, penyebab meledaknya 2.750 amonium nitrat di pelabuhan Beirut belum diketahui.
Sementara itu, negara-negara global beramai-ramai mengirim bantuan ke Lebanon. Negara-negara tersebut di antaranya adalah Rusia, Yordania, Mesir, Republik Ceko, Qatar, Irak, Kuwait, Prancis, dan lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id