Tank Israel yang terakhir mundur dari Gaza, 12 September 2005. (Yoav Lemmer/AFP)
Tank Israel yang terakhir mundur dari Gaza, 12 September 2005. (Yoav Lemmer/AFP)

Kilas Balik Ketika Israel Secara Sepihak Mundur dari Gaza, Apa Alasannya?

Riza Aslam Khaeron • 16 Januari 2025 12:42
Jakarta: Pada tahun 2005, Israel mengambil langkah berani dan kontroversial dengan melakukan penarikan sepihak dari Jalur Gaza. Keputusan yang dikenal sebagai "Rencana Pelepasan" ini diprakarsai oleh Perdana Menteri Ariel Sharon.
 
Apa alasan utama di balik langkah ini, dan bagaimana dampaknya terhadap konflik Israel-Palestina?
 

Latar Belakang Penarikan

Langkah ini berakar pada tekanan demografis, ekonomi, dan keamanan. Sejak menduduki Gaza dalam Perang Enam Hari tahun 1967, Israel menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kontrol terhadap wilayah yang dihuni sekitar 1,4 juta warga Palestina.
 
Menurut Perdana Menteri Sharon, "Kami tidak bisa selamanya menguasai Gaza. Lebih dari satu juta warga Palestina tinggal di sana, dan jumlah mereka berlipat setiap generasi."

Penarikan ini juga dianggap sebagai cara untuk menghindari tekanan internasional terkait pembentukan negara Palestina.
 
Historiografi menyebutkan bahwa serangan dari Hamas terhadap pemukim Israel di Gaza dan biaya tinggi untuk mempertahankan keberadaan militer Israel turut memengaruhi keputusan ini.
 
Menurut Daniel Byman dalam analisisnya di War on The Rocks, pendudukan Gaza merupakan "beban mahal dengan keuntungan strategis yang minim."
 
Dengan 3.000 tentara Israel yang melindungi 8.500 pemukim di wilayah yang dihuni lebih dari satu juta warga Palestina, keputusan untuk mundur menjadi pilihan pragmatis.
 

Eksekusi Rencana Pelepasan

Proses evakuasi dimulai pada Agustus 2005, dengan lebih dari 8.000 pemukim Israel dipindahkan dari 21 pemukiman di Gaza.
 
Israel juga membongkar empat pemukiman di Tepi Barat utara. Evakuasi ini disertai perlawanan keras dari beberapa pemukim, termasuk aksi protes massal dan kekerasan sporadis.
 
Dalam beberapa kasus, pasukan keamanan Israel harus menggunakan kekuatan untuk mengosongkan rumah dan sinagoga.
 
Selain itu, pemerintah Israel memberikan kompensasi finansial kepada para pemukim yang direlokasi. Namun, proses ini dikritik sebagai tidak memadai oleh banyak pihak, termasuk Komite Penyelidikan Israel.
 

Kebangkitan Hamas dan Dampaknya

Penarikan Israel meninggalkan kekosongan kekuasaan di Gaza yang segera dimanfaatkan oleh Hamas. Pada tahun 2007, Hamas mengambil alih kendali penuh atas Gaza setelah konflik internal dengan Fatah.
 
Organisasi ini menggunakan momen tersebut untuk mengonsolidasikan kekuatan politik dan militernya, melakukan serangan roket ke wilayah Israel.
 
Hamas secara terbuka mengklaim bahwa penarikan Israel adalah hasil "perlawanan bersenjata" mereka.
 
Salah satu spanduk mereka berbunyi, "Empat tahun perjuangan mengalahkan sepuluh tahun negosiasi."
 
Serangan roket yang mereka lancarkan ke wilayah Israel digunakan sebagai alat propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka berhasil memaksa Israel mundur.
 
Namun, kendali Hamas atas Gaza memicu serangkaian konsekuensi. Blokade yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza, sementara ketegangan antara Hamas dan Fatah menghalangi tercapainya persatuan di kalangan Palestina.
 
Di sisi lain, serangan roket Hamas terhadap Israel meningkatkan siklus kekerasan dan membatasi peluang perdamaian.
 
Daniel Byman mencatat bahwa setelah penarikan, Hamas berkembang menjadi negara quasi dengan kemampuan militer yang semakin canggih.
 
Dukungan Iran membantu Hamas mengembangkan persenjataan, termasuk roket-roket jarak jauh yang menjadi ancaman besar bagi Israel. Dari 2007 hingga 2015, lebih dari 10.000 roket dan mortir diluncurkan ke Israel, menyebabkan puluhan korban jiwa dan kerusakan besar.
 
Puncak konflik terjadi pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Israel, yang dikenal sebagai "Operasi Banjir Al-Aqsa." Serangan ini melibatkan lebih dari 5.000 roket yang ditembakkan dalam waktu kurang dari satu jam, serta infiltrasi darat di 119 lokasi.
 
Sebanyak 1.195 orang tewas dalam serangan tersebut, termasuk 815 warga sipil, sementara lebih dari 250 orang ditahan sebagai sandera. Menurut laporan dari Israel–Hamas War Report, ini adalah salah satu serangan paling mematikan dalam sejarah konflik Israel-Palestina.
 
Israel merespons dengan deklarasi perang, lancarkan serangan udara intensif dan invasi darat ke Gaza yang dimulai pada 27 Oktober 2023.
 
Konflik ini telah menyebabkan lebih dari 46.000 warga Palestina tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak, serta lebih dari 100.000 lainnya terluka.
 
Serangan Israel juga menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza, menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal.
 
Penarikan sepihak Israel dari Gaza pada 2005 tetap menjadi salah satu peristiwa paling kontroversial dalam sejarah konflik Israel-Palestina.
 
Meskipun dirancang untuk mengurangi tekanan demografis dan internasional terhadap Israel, langkah ini justru memperdalam jurang perpecahan antara kedua belah pihak dan menciptakan tantangan baru bagi perdamaian regional.
 
Kebangkitan Hamas sebagai penguasa Gaza dan serangan mereka ke Israel membuat negara tersebut bertanya apakah kebijakan "Land for Peace" (Tanah untuk Perdamaian) dimana Israel memberikan wilayah mereka untuk perdamaian dan diplomasi merupakan solusi yang tepat.
 
Ingatan atas keputusan untuk mundur dari Gaza dan membantu kebangkitan Gaza mendorong radikalisasi dan paranoia warga Israel.
 
Kita bisa melihat paranoia Israel ketika Invasi dan serangan-serangan udara mereka ke Suriah paska HTS mengambil alih kekuasaan, was-was apakah pemerintahan tersebut akan menjadi "Hamas" yang baru.
 
Baca Juga:
15 Bulan Perang Israel vs Hamas: Siapakah Pemenang di Gaza?
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WAN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan