Perang ini, yang disebut sebagai konflik paling mematikan dalam sejarah hubungan Israel-Palestina, menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya pemenangnya?
Awal Mula Konflik
Perang ini dimulai dengan serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober 2023, saat ribuan roket ditembakkan ke wilayah Israel dan ratusan militan menyeberangi perbatasan Gaza.Hamas menyebut serangan ini sebagai "Operation Al-Aqsa Flood," dengan tujuan melawan blokade Israel di Gaza dan memperjuangkan hak-hak Palestina, menewaskan 1200 warga Israel dan menyandera 251 orang lainnya.
Israel merespons dengan salah satu kampanye militer paling destruktif, termasuk serangan udara masif dan invasi darat yang dimulai pada 27 Oktober 2023.
Kerugian Besar di Kedua Sisi
Statistik menunjukkan skala kehancuran yang luar biasa:1. Gaza: Lebih dari 46.000 warga Palestina tewas, termasuk ribuan anak-anak, dengan ratusan ribu lainnya terluka. Sebagian besar infrastruktur Gaza hancur, membuat banyak wilayah tidak layak huni.
2. Israel: Hampir 2.000 warga Israel tewas, termasuk ratusan anggota militer, dan lebih dari 13.000 orang terluka.
Konflik ini juga menyebabkan pengungsian massal, dengan hampir seluruh penduduk Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa kehilangan tempat tinggal.
Menurut laporan dari The Lancet, sekitar 70.000 warga Gaza tewas akibat luka-luka langsung, sementara ribuan lainnya meninggal karena kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar. Gaza juga menghadapi krisis pangan dan air bersih yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di Israel, serangan roket menyebabkan kehancuran besar di beberapa kota, dan banyak keluarga kehilangan orang yang mereka cintai. Dampak psikologis akibat serangan ini juga dirasakan oleh masyarakat Israel.
Strategi dan Hasil Militer
Israel mengklaim berhasil menghancurkan banyak infrastruktur militer Hamas, termasuk jaringan terowongan bawah tanah yang digunakan untuk menyimpan senjata dan melakukan serangan.Serangan udara intensif juga menargetkan tokoh-tokoh kunci Hamas, seperti Mohammed Deif, komandan militer sayap bersenjata Hamas, yang dianggap sebagai dalang di balik "Operation Al-Aqsa Flood." Israel mengklaim Deif tewas dalam serangan udara pada Mei 2024.
Israel juga mengonfirmasi kematian Yahya Sinwar, pemimpin Hamas di Gaza, dalam operasi pada Oktober 2024.
Sinwar dikenal sebagai arsitek serangan besar-besaran pada awal perang. Sebelumnya, pada Juli 2024, Ismail Haniyeh, ketua biro politik Hamas, tewas dalam serangan udara di Teheran, Iran, saat menghadiri acara resmi.
Kesepakatan gencatan senjata menunjukkan posisi lemah Hamas yang harus menyerah pada dua tuntutan penting: mengabaikan permintaan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza dan tidak menetapkan gencatan senjata permanen.
Menurut Marika Sosnowski dari University of Melbourne, "Hamas berada dalam posisi yang sulit karena perbedaan kekuatan yang signifikan dengan Israel. Kesepakatan ini lebih merupakan 'kontrak pencekikan' yang dipaksakan oleh pihak yang lebih kuat."
Hamas juga tidak berhasil memaksa Israel mundur dari wilayah okupasinya seperti di Tepi Barat dan Yerusalem, yang merupakan alasan utama mereka menyerang Israel.
Namun, Hamas mampu memanfaatkan situasi kemanusiaan rakyat Gaza untuk membangun narasi perjuangan mereka di tingkat internasional.
Gina Abercrombie-Winstanley dari Atlantic Council mencatat bahwa "biaya kemanusiaan dari perang ini tidak hanya memengaruhi Gaza, tetapi juga merusak citra global Israel." Fokus pada kehancuran di Gaza telah meningkatkan simpati internasional terhadap perjuangan Palestina.
Steven A. Cook dari Council on Foreign Relations menambahkan bahwa gencatan senjata ini tidak menjamin akhir dari konflik.
"Hamas dan kelompok-kelompok afiliasinya akan terus melanjutkan perang melalui upaya internasional untuk mendelegitimasi Israel," ujarnya.
Cook juga mencatat bahwa keberlangsungan kesepakatan ini rentan terhadap sabotase dari pihak-pihak ekstremis di kedua belah pihak, mirip dengan dinamika yang terjadi selama proses Oslo pada 1990-an.
Israel menargetkan pusat komando militer Hamas, termasuk fasilitas penyimpanan senjata dan pusat komunikasi.
Serangan ini memberikan pukulan besar terhadap struktur kepemimpinan Hamas, meskipun kelompok tersebut tetap mampu meluncurkan serangan sporadis hingga akhir konflik.
Pada akhirnya, Israel tidak berhasil melumpuhkan kemampuan militer dan pemerintahan Gaza sepenuhnya yang merupakan salah satu objektif perang mereka melawan Hamas.
Kesimpulan: Siapa Pemenangnya?
Dalam perang ini, sulit untuk menyebutkan pemenang. Meskipun Israel mengklaim keberhasilan militer dan berhasil melemahkan Hamas, biaya manusia dan material yang diderita kedua belah pihak sangat besar.Hamas, meskipun kehilangan banyak pemimpin senior, berhasil bertahan hidup dan mendapatkan perhatian internasional terhadap isu Palestina.
Jonathan Panikoff dari Atlantic Council menyimpulkan bahwa "perang ini tidak mendekatkan kita pada solusi dua negara, tetapi justru memperlebar jurang antara Israel dan Palestina."
Steven A. Cook menambahkan bahwa "dengan Hamas yang masih memiliki kemampuan untuk merekrut dan meluncurkan serangan, risiko perang gerilya jangka panjang tetap ada."
Pertanyaan terbesar yang tersisa adalah apakah perdamaian yang tahan lama dapat dicapai setelah kehancuran ini, atau apakah siklus kekerasan akan terus berlanjut.
Baca Juga:
Israel dan Hamas Dilaporkan Setujui Gencatan Senjata, Ini Isinya
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id