"Adewinda dinyatakan lepas dari hukuman mati setelah orang tua korban sebagai pemilik hak qisas secara sukarela dan tanpa syarat apa pun menyatakan 'tanazul' (pembatalan tuntutan hukuman mati ) pada sidang lanjutan yang berlangsung Maret 2021 di Pengadilan Pidana Riyadh," jelas Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel.
"Kami baru sekarang menyampaikan kabar gembira penuh syukur ini kepada masyarakat di Indonesia, setelah mendapatkan salinan putusan Pengadilan dan memastikan dari semua aspek bahwa Adewinda binti Isak Ayub telah benar-benar bebas dari hukuman mati (qisas)," sambungnya, dalam keterangan tertulis KBRI Riyadh yang diterima Medcom.id pada Senin, 24 Mei 2021.
Dubes Maftuh menjelaskan bahwa untuk membaca dan memahami amar putusan yang terdiri 9 halaman tersebut dibutuhkan pemahaman komprehensif tentang Fiqih Jinayat ( Hukum Pidana Islam).
"Alhamdulillah pengalaman saya di pesantren dan menemani mahasiswa selama 27 tahun di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sangat membantu dalam memahami istilah-istilah khusus dalam hukum pidana Islam (al-Tasyri’ al-Jina’iy fi al-Islam) yang tertulis dalam putusan ini," terang Wakil Tetap RI pertama di OKI (Organisasi Kerja sama Islam) ini.
Setelah pembatalan tuntutan hukuman mati, Adewinda kini hanya akan menjalani hukuman 5 tahun penjara dipotong 2 tahun. Ini artinya, hanya tersisa satu tahun ke depan jika putusan ini disahkan secara inkrach oleh Pengadilan Kasasi yang sedang berjalan.
Baca: Proses Panjang Lolosnya TKI dari Hukuman Mati di Arab Saudi
Sebelumnya, Adewinda ditahan Kepolisian Distrik Aziziah, Riyadh, sejak 3 Juni 2019 atas tuduhan membunuh anak perempuan majikan berusia 15 tahun yang mengalami keterbelakangan mental. Dalam tuduhan itu, Adewinda disebut memukul berkali-kali pada bagian kepala sang anak hingga meninggal dunia. Pengadilan juga memutuskan bahwa Adewinda terbukti melakukan pembunuhan.
Ketika melakukan perbuatan tersebut, Adewinda sendiri diduga sedang mengalami depresi karena selama 5 tahun terakhir dikurung berdua dengan korban dalam suatu ruangan dan tidak mendapatkan akses dunia luar. Hal ini oleh KBRI Riyadh dilihat sebagai salah satu celah penting untuk membebaskan Adewinda dari hukuman mati.
Pernyataan "tanazul" (pembatalan tuntutan qisas) oleh orang tua korban tidak lepas dari keberhasilan pendampingan intensif yang dilakukan KBRI Riyadh, termasuk pendekatan persuasif kepada orang tua korban guna meyakinkan bahwa kejadian tersebut tidak dapat dilepaskan dari kesalahan dan tanggung jawab mereka akibat mengurung Adewinda dan anaknya selama bertahun-tahun.
Satu hal menarik, proses pendampingan kasus ini tidak melibatkan jasa pengacara sama sekali.
Selain melihat celah hukum di atas dan tingginya tawaran biaya jasa pengacara yang masuk ke KBRI (salah satu pengacara menawarkan jasanya dengan biaya mencapai SAR 500.000 atau sekitar Rp1,8 miliar), KBRI sejak awal yakin bahwa kesepakatan tanazul (pencabutan tuntutan hukuman mati) dapat tercapai tanpa uang diyat atau dengan diyat yang jumlahnya tidak sebesar biaya jasa pengacara.
Bebasnya Adewinda dari hukuman mati menambah daftar keberhasilan KBRI Riyadh di bawah pimpinan Dubes Agus Maftuh dalam menyelamatkan jiwa WNI di Arab Saudi.
"Ini adalah takdir diplomatik yang indah. Allah memberikan kemudahan kepada KBRI Riyadh untuk melakukan diplomasi kemanusiaan menyelamatkan WNI yang menghadapi tuntutan hukuman mati," tutur Dubes yang sebentar lagi akan mengakhiri tugas di Arab Saudi setelah 5 tahun lebih bertugas.
Sejak tahun pertama menjalani masa tugasnya di awal tahun 2016 hingga 2021, tercatat sekurangnya 10 orang WNI berhasil diselamatkan dari hukuman mati atas berbagai tuduhan yang beragam mulai pembunuhan, kasus sihir dan kasus-kasus berat yang masuk kategori HPC (High Profile Case).
Salah satu yang paling fenomenal adalah upaya pembebasan Eti Toyib Anwar di tahun 2019 melalui penggalangan uang tebusan (diyat) dari para donatur di Indonesia untuk membayar uang diyat sebesar SAR 4 Juta (Rp15.5 miliar).
Ketika menangani kasus-kasus berat, KBRI Riyadh secara intensif melakukan komunikasi dengan berbagai pihak di Arab Saudi, bahkan sampai level tertinggi yaitu Kantor Raja Salman (Diwan Malaki atau Royal Court) untuk meminta kemudahan dalam melakukan pendekatan dengan para ahli waris korban sebagai pemegang dan pemilik hak qisas dalam kasus pembunuhan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News