Aleppo, kota yang menjadi saksi utama pergolakan panjang dalam perang saudara Suriah, kembali menjadi pusat perhatian dunia. Dalam serangan mendadak yang dimulai pada 27 November 2024, koalisi pasukan pemberontak berhasil merebut kota tersebut dari tangan rezim Assad.
Melansir dari News Statesman, Selasa, 3 Desember 2024, operasi ini dipimpin oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah milisi yang dulunya terkait dengan al-Qaeda tetapi telah mengurangi elemen ekstremisnya dan mengambil pendekatan yang lebih moderat.
Sepak Terjang HTS
HTS, atau dulu dikenal sebagai Nusra Front, memiliki sekitar 20.000 anggota. Namun, kelompok ini berbeda dari Islamic State (ISIS) karena tidak memaksakan aturan agama atau membatasi kebebasan individu secara ekstrem. Bahkan, HTS menunjukkan toleransi terhadap kelompok agama minoritas dan suara protes masyarakat.Sebelumnya, HTS tidak terlalu disukai penduduk setempat. Tetapi, keberhasilan ofensif di Aleppo telah mengubah pandangan sebagian besar rakyat yang ingin kembali ke rumah mereka setelah terusir bertahun-tahun akibat perang.
Awalnya, operasi ini diduga sebagai langkah terbatas yang mungkin disepakati antara Turki dan Rusia untuk memaksa Assad bernegosiasi. Namun, ketika garis pertahanan rezim runtuh dan pemberontak memasuki Aleppo, situasi dengan cepat lepas dari kendali kekuatan asing.
Perubahan ini mencerminkan keberhasilan pemberontak yang kini lebih terorganisir dan profesional.
Serangan ke Aleppo menunjukkan kemajuan signifikan, baik dari sisi militer maupun sosial. Pemberontak berhasil menjaga keamanan fasilitas publik, mencegah penjarahan, dan bahkan menyediakan saluran pengaduan bagi warga untuk melaporkan pelanggaran.
Kampanye mereka juga menekankan penghormatan terhadap semua agama dan sekte, dengan contoh nyata seperti wanita yang dapat berjalan tanpa jilbab tanpa intimidasi, serta kebebasan beribadah di gereja-gereja.
Namun, tantangan besar tetap ada. Balasan brutal dari pasukan Assad dan Rusia kini tengah berlangsung, dengan serangan udara yang menghantam wilayah sipil. Sejarah menunjukkan bahwa taktik bumi hangus semacam ini memicu krisis pengungsi dan memungkinkan kelompok ekstremis seperti ISIS untuk bangkit.
Selain itu, keberadaan Tentara Nasional Suriah (SNA), pasukan yang lebih sekuler tetapi kurang disiplin, meningkatkan risiko pelanggaran dan penjarahan di wilayah-wilayah yang baru direbut.
Masa Depan Suriah
Kejatuhan rezim Assad tampak semakin mendekat, terutama karena ketergantungannya pada pasukan asing yang kini melemah. Milisi Syiah yang didukung Iran telah mengalami kerugian besar akibat serangan Israel, sementara Rusia lebih terfokus pada perang di Ukraina.Dalam kondisi ini, ketidakstabilan rezim Assad semakin terlihat, dengan ekonomi yang hancur dan dukungan yang menipis dari komunitas yang dulunya loyal.
Meski demikian, Suriah saat ini masih belum memiliki oposisi demokratis yang siap memimpin. Banyak dewan revolusioner yang semi-demokratis telah dihancurkan, dan para aktivis sipil terpaksa melarikan diri atau terbunuh.
Namun, jika sebagian besar wilayah negara ini bisa terbebas dari serangan, ada harapan jutaan pengungsi Suriah dapat kembali ke tanah air mereka dan membangun kembali masyarakat sipil yang demokratis.
Pemerintah Barat harus berhenti menganggap rezim Assad sebagai solusi stabilitas. Sebaliknya, mereka perlu mendukung penentuan nasib sendiri rakyat Suriah dan mendorong penghentian serangan brutal oleh Rusia dan Assad.
Dengan lebih banyak keterwakilan dalam pemerintahan, Suriah memiliki peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih damai, tidak hanya bagi warganya tetapi juga bagi kawasan Arab secara keseluruhan. (Muhammad Reyhansyah)
Baca juga: Kenapa Aleppo Penting dalam Perang Suriah? Ini Penjelasannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News