Dengan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS pada 2024, rencana ini diperkirakan akan kembali dibahas, seperti yang diungkapkan oleh mantan pembantu seniornya, Brian Hook.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa rencana damai ini dianggap mengancam kepentingan Palestina.
1. Wilayah yang Sangat Terbatas untuk Palestina
Rencana ini hanya memberikan wilayah yang terbatas dan terpisah-pisah bagi Palestina. Sebagian besar wilayah Tepi Barat, termasuk Lembah Yordan, akan dianeksasi oleh Israel, menyisakan kantong-kantong kecil yang tidak terhubung bagi Palestina.
Sumber: Peace to Prosperity
Dalam peta yang ditampilkan, terlihat adanya kanton-kanton Palestina yang dikelilingi oleh permukiman ilegal Israel yang disebut sebagai "enclave communities".
Peta ini hanya mencantumkan 15 komunitas, tetapi disebutkan bahwa daftar ini "tidak mencakup semua". Artinya, pemetaan ulang wilayah ini dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan keamanan Israel, dan hanya memberikan sedikit peluang bagi ekspansi Palestina secara teritorial.
Kondisi ini membuat Palestina sulit menjalankan pemerintahan yang efisien dan menghambat pembangunan ekonomi.
2. Ibu Kota Palestina di Pinggiran Yerusalem
Yerusalem Timur, yang memiliki nilai historis dan religius bagi Palestina, tidak diakui sebagai ibu kota Palestina dalam rencana ini. Sebagai gantinya, Palestina hanya ditawarkan ibu kota di pinggiran Yerusalem, seperti Abu Dis. Dalam rencana ini disebutkan,"Yerusalem akan tetap menjadi ibu kota berdaulat Negara Israel, dan seharusnya tetap menjadi kota yang tidak terbagi. Ibu kota Negara Palestina seharusnya berada di bagian Yerusalem Timur yang mencakup semua area di timur dan utara dari penghalang keamanan yang ada, termasuk Kafr Aqab, bagian timur Shuafat, dan Abu Dis," tulis Gedung Putih dalam draft 'Peace to Prosperity', Januari 2020".
Hal ini tentu jauh dari harapan rakyat Palestina yang ingin menjadikan Yerusalem Timur sebagai pusat negara mereka.
Peta yang ditampilkan menunjukkan bahwa Yerusalem akan tetap berada di bawah kendali Israel, sementara ibu kota Palestina hanya berada di bagian-bagian kecil di pinggiran Yerusalem.
3. Palestina Diminta Tanpa Militer
Rencana ini juga mengharuskan Palestina untuk sepenuhnya demiliterisasi, yang berarti tidak ada kekuatan militer yang memadai untuk melindungi diri. Di sisi lain, Israel tetap mengendalikan keamanan, termasuk pengawasan perbatasan dan udara. Dalam dokumen rencana, disebutkan bahwa"Negara Palestina harus sepenuhnya demiliterisasi dan tetap demikian", tulis Gedung Putih dalam draft 'Peace to Prosperity', Januari 2020
yang artinya Palestina tidak diperbolehkan memiliki militer yang memadai. Ketidakseimbangan ini membuat Palestina sangat bergantung pada Israel dalam hal keamanan. Bahkan, jalan-jalan di wilayah Palestina dan Israel dalam peta rencana ini juga segregasi.
Jalan-jalan Palestina diberi label sebagai "utama" namun tetap terputus-putus, menunjukkan bahwa akses antara wilayah Palestina bisa sangat terbatas dan mudah diputus oleh pihak Israel.
4. Syarat-Syarat yang Tidak Realistis
Manfaat yang dijanjikan untuk Palestina dalam rencana ini sangat bergantung pada persetujuan Israel dan AS, dengan syarat-syarat yang sulit dipenuhi, seperti menghentikan aksi yang dianggap sebagai terorisme oleh Israel. Dokumen ini menyatakan bahwa"Para pemimpin Palestina harus menerima perdamaian dengan mengakui Israel sebagai negara Yahudi dan menolak terorisme dalam segala bentuknya", tulis Gedung Putih dalam draft 'Peace to Prosperity', Januari 2020.
Banyak dari syarat ini sangat sulit diterima banyak pihak seperti Hamas yang dalam Piagam Mereka tahun 2017 menyatakan:
"Pendirian "Israel" sepenuhnya ilegal dan bertentangan dengan hak-hak tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina, serta berlawanan dengan kehendak mereka dan kehendak umat," ayat ke-18 Piagam Hamas tahun 2017.
5. Aneksasi Permukiman Israel di Tepi Barat
Rencana ini mengizinkan Israel untuk menganeksasi permukiman-permukiman di Tepi Barat, yang secara internasional dianggap ilegal berdasarkan Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat.Pada tahun 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) kembali menegaskan bahwa permukiman tersebut ilegal dan meminta Israel menghentikan aktivitasnya. Dalam dokumen rencana Trump, disebutkan bahwa
"Negara Israel tidak perlu memindahkan permukiman apa pun, dan akan menggabungkan sebagian besar permukiman Israel ke dalam wilayah Israel yang terhubung," tulis Gedung Putih dalam draft 'Peace to Prosperity', Januari 2020.
Aneksasi ini memperkuat kontrol Israel atas wilayah tersebut, mengurangi peluang Palestina untuk mendirikan negara berdaulat.
6. Tidak Ada Hak Kembali Pengungsi Palestina ke Israel
Jutaan pengungsi Palestina tidak diberi hak untuk kembali ke seluruh tanah asal mereka, seperti daerah yang saat ini berada di dalam perbatasan Israel.Sebaliknya, mereka hanya diizinkan kembali ke wilayah yang akan menjadi bagian dari Negara Palestina yang baru, dengan kondisi terbatas.
Dalam bagian ke-16 dari dokumen "Peace to Prosperity" disebutkan bahwa program 'Palestinian Refugee Trust' akan memberikan bantuan finansial dan peluang integrasi bagi para pengungsi di negara-negara tempat mereka tinggal saat ini, serta peluang untuk kembali ke wilayah Palestina yang terbatas.
Tidak ada hak kembali penuh ke tanah asal mereka di Israel, yang menambah kekecewaan rakyat Palestina karena tidak sesuai dengan Resolusi PBB yang mengakui hak pengungsi untuk kembali.
7. Fokus pada Normalisasi dengan Negara Arab
Alih-alih benar-benar mencari solusi yang adil bagi Palestina, rencana ini lebih menitikberatkan pada normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab.Fokus utama adalah menciptakan hubungan ekonomi dan diplomatik antara Israel dan negara-negara Arab. Rencana ini menciptakan kesan bahwa stabilitas regional diutamakan daripada keadilan bagi Palestina, yang membuat mereka merasa diabaikan dalam proses ini.
Bahkan, akses ke tempat-tempat penting seperti pelabuhan di Haifa dan Ashdod juga hanya secara terbatas diberikan kepada Palestina.
Rencana damai Trump 2020 lebih menguntungkan Israel dan tidak memenuhi aspirasi utama rakyat Palestina. Dengan kemenangan Trump pada Pemilu 2024, rencana ini kemungkinan besar akan kembali diangkat, menambah kekhawatiran bagi Palestina.
Baca Juga:
Pandangan Luar Negeri Trump-Vance: Dukungan Penuh untuk Israel, Ukraina Dikurangi
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News