Dikutip dari New York Times pada Sabtu, 6 Februari 2021, putusan dari Den Haag ini disampaikan enam tahun usai kantor kepala jaksa ICC, Fatou Bensouda, memulai investigasi awal terhadap aksi-aksi Israel di wilayah pendudukan, termasuk saat terjadinya perang 50 hari di Gaza pada 2014.
Putusan ICC juga baru keluar satu tahun usai Bensouda menanyakan mengenai yurisdiksi pengadilan internasional di wilayah pendudukan Israel. Putusan ini disambut baik jajaran petinggi Palestina, namun dinilai Israel sebagai langkah politik tanpa adanya basis hukum.
"Hari ini pengadilan (ICC) sekali lagi membuktikan dirinya sebagai badan politik, bukan institusi yudisial," kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
"Pengadilan telah mengabaikan kejahatan perang yang sesungguhnya dan justru mempersekusi negara Israel, sebuah negara demokratis yang bukan merupakan anggota (ICC)," sambungnya.
Baca: 2 Orang Dibunuh, Warga Arab di Israel Demo di 4 Kota
Ia juga menuduh ICC sebagai lembaga "anti-semitisme sejati" yang menolak untuk menginvestigasi kediktatoran brutal seperti yang terjadi di Iran dan Suriah. "Kekejaman di sana dilakukan hampir setiap hari," ungkap PM Netanyahu.
"Kami akan memerangi ketidakadilan hukum ini dengan menggunakan segala kekuatan kami," pungkasnya.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengekspresikan "kekhawatiran serius" mengenai putusan ICC. Melalui juru bicara Ned Price, Kemenlu AS menyatakan bahwa "yurisdiksi ICC seharusnya hanya untuk negara-negara yang memang menyepakatinya, atau yang dirujuk dari Dewan Keamanan PBB."
Israel bukan anggota ICC, sementara Palestina baru bergabung pada 2015. Sejak tahun itu, Palestina meminta ICC untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang di wilayah pendudukan Israel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News