Akhir Perang Gaza. (AFP)
Akhir Perang Gaza. (AFP)

Masa Depan Gaza Setelah Gencatan Senjata yang Ambigu, Hamas Tetap Memerintah?

Riza Aslam Khaeron • 17 Januari 2025 12:00
Jakarta: Gencatan senjata yang disepakati pada 15 Januari 2025 antara Israel dan Hamas membawa harapan untuk meredakan konflik yang telah berlangsung selama 15 bulan.
 
Namun, pertanyaan mengenai siapa yang akan memerintah Gaza pasca-konflik tetap menjadi teka-teki besar.
 
Meskipun Israel, Amerika Serikat, dan Otoritas Palestina menolak pemerintahan Hamas di Gaza, kelompok ini tetap menjadi kekuatan dominan yang tidak bisa diabaikan.
 

Kekuatan Hamas yang Tetap Dominan

Sejak memenangkan pemilu legislatif pada 2006 dan mengambil alih Gaza pada 2007, Hamas telah menjadi penguasa wilayah tersebut.

Meskipun serangan militer Israel selama konflik terbaru berhasil melemahkan infrastruktur dan kepemimpinan Hamas, kelompok ini tetap mempertahankan kekuatannya.
 
Menurut laporan Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS yang sedang menjabat, Hamas berhasil merekrut milisi baru hampir sebanyak jumlah yang mereka kehilangan sejak Oktober 2023.
 
"Ini adalah resep untuk pemberontakan yang berkelanjutan dan perang yang tiada akhir," kata Blinke, melansir France24.
 
Berdasarkan Matthew Mpoke Bigg dari The New York Times, Hamas mampu mereorganisasi struktur mereka meski kehilangan tokoh penting seperti Yahya Sinwar dan Ismail Haniyeh. “Kehadiran Hamas di Gaza adalah fakta yang tidak bisa diabaikan,” tulis Mpoke tersebut.
 
Hamas juga menegaskan bahwa mereka harus tetap memiliki peran dalam pemerintahan Gaza sebagai syarat untuk persetujuan mereka terhadap kesepakatan pembebasan sandera.
 
Meskipun telah dilemahkan secara signifikan, mereka masih memiliki dukungan dari sebagian masyarakat Gaza.
 

Rencana Otoritas Palestina dan Dukungan Internasional

Otoritas Palestina (PA), yang memegang otoritas terbatas di Tepi Barat, mengklaim sebagai satu-satunya entitas yang sah untuk memerintah Gaza.
 
Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa menegaskan bahwa "tidak ada entitas lain selain Otoritas Palestina yang dapat memerintah Gaza."
 
PA juga berkomitmen untuk membangun kembali infrastruktur Gaza dengan dukungan internasional.
 
Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, menekankan bahwa transisi kekuasaan ke PA harus dilakukan secara hati-hati dan diawasi ketat untuk menghindari penyalahgunaan bantuan internasional.
 
Antony Blinken mengusulkan pembentukan pemerintahan sementara yang melibatkan warga Gaza dan perwakilan PA.
 
"Komunitas internasional akan menyediakan dana, dukungan teknis, dan pengawasan untuk membantu transisi kekuasaan," kata Blinken. Namun, banyak tantangan yang dihadapi, termasuk resistensi dari Hamas dan kebutuhan akan konsensus regional.
 

Visi Israel dan Ketegangan Internal

Pemerintah Israel, di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menolak kemungkinan Hamas kembali memerintah Gaza.
 
Netanyahu berulang kali menyatakan bahwa Hamas harus "dihancurkan sepenuhnya" sebelum solusi apa pun dapat diterapkan.
 
Namun, kabinet Israel tetap terpecah terkait pendekatan terhadap masa depan Gaza. Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich bahkan mengusulkan kembalinya komunitas sipil Yahudi ke Gaza, ide yang dianggap radikal oleh sebagian besar komunitas internasional
 
Rencana Mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang diusulkan pada awal 2024 sebelum pemecatannya, mencakup pengawasan operasional oleh militer Israel di Gaza, mirip dengan model yang diterapkan di Tepi Barat.
 
Namun, rencana ini bertentangan dengan usulan Blinken yang menolak segala bentuk pendudukan militer di Gaza.
 
Proposal ini juga dianggap tidak realistis oleh sebagian besar pengamat internasional dan ditentang oleh Amerika Serikat.
 

Rekonstruksi Gaza dan Tantangan Masa Depan

Rencana rekonstruksi Gaza menjadi bagian dari fase ketiga dalam kesepakatan gencatan senjata. Blinken menjelaskan bahwa rekonstruksi ini harus mengutamakan keterlibatan internasional untuk memastikan bantuan kemanusiaan tidak disalahgunakan oleh kelompok bersenjata.
 
Skenario paling optimis mencakup perdamaian jangka panjang yang didanai oleh negara-negara Teluk, dengan syarat Hamas menyerahkan kekuasaan kepada entitas yang lebih diterima secara internasional.
 
Namun, tantangan besar tetap ada. Tanpa kompromi dari Israel dan Hamas masa depan Gaza tetap sulit diprediksi.
 
Seperti yang ditulis oleh Mpoke, "Gaza menghadapi persimpangan jalan antara harapan akan rekonstruksi dan ancaman siklus kekerasan baru."
 
Dikarenakan Hamas lebih memiliki kepentingan dalam rekonstruksi Gaza, jalannya pembangunan ulang Gaza lebih tergantung pada kompromi mereka.
 
Adapun isu geopolitik yang rumit, Israel terus bersikeras mempertahankan blokade Gaza dan kontrol atas Koridor Philadelphi untuk mencegah penyelundupan senjata. Di sisi lain, Hamas melihat pencabutan blokade sebagai prasyarat untuk stabilitas jangka panjang.
 
Hanya waktu yang akan menjawab apakah Gaza dapat keluar dari lingkaran kekerasan atau tetap menjadi medan pertempuran geopolitik yang rumit.
 
Baca Juga:
Kronologi Negosiasi Gencatan Senjata Israel-Hamas

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(WAN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan